TATWA LIAK
(Hakekat Lingga Aksara)
(Hakekat Lingga Aksara)
© 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Penulis :
JRO MANGKU SUARDANA
Pasraman Sesepuh
Asisten Penulis :
Pasraman Sesepuh
Jro Mangku Sudiariani
Pasraman Sesepuh
Jro Mangku Sudiariani
Forum Surya Majapahit
I Komang Siswantara
Jro Mangku Widiana
Jro Mangku Waniya
Jro Mangku Waniya
Editor :
Bunud Jaya
I Nengah Dwipa Arta
Aloe SM
Aloe SM
Desain Cover :
Ary Production
ISBN :
978-602-7310-1-3
Penerbit :
PASRAMAN SESEPUH
Regno : 0027/IUMK/JBR/2016
Regno : 0027/IUMK/JBR/2016
http://pasramansesepuh.blogspot.com
Om Swastyastu,
I. LEGENDA TURUNNYA AJARAN LIAK
Dikisahkan pada awal penciptaan manusia, seperti yang tersurat dalam kitab Veda Smerti yaitu Manawa Dharma Sastra, diuraikan bahwa Brahman (Tuhan Yang Maha Esa) menciptakan alam beserta isinya adalah melalui Tapa-Nya ;
“... kemudian Aku ingin menciptakan mahluk-mahluk hidup, dengan menjalankan Tapa dimaksud menciptakan manusia sebagai pemimpin dari mahluk hidup (Manawa Dharma Sastra 1.34).
“... diciptakan pula para yaksa, raksasa dan banyak tingkatan roh, kilat, guruh, mendung, pelangi, hujan, suara-suara gaib, bintang-bintang terlihat maupun tidak terlihat, sinar-sinar langit yang beraneka ragam, para kinnara, tumbuhan, berbagai jenis ikan, kura-kura, burung-burung, binatang, manusia dan segala macam benda2 tak bergerak, demikian semua ciptaan yang bergerak maupun tak bergerak, diciptakan oleh Maha Atma dengan kekuatan Tapa-Nya, semuanya atas perintah-Ku dan menurut hasil daripada perbuatannya (Manawa Dharmasastra 1.37-41).
Hingga kemudian, di Desa Madya yang merupakan salah satu desa di Jagad Maya (Dunia) ini, hiduplah sepasang manusia dari kelahiran Buncing (kembar Perempuan dan Laki), dimana yang perempuan selanjutnya bernama Ni Kiwa dan yang laki bernama I Tengen.
Seiring peralihan peradaban, dimana kala itu manusia masih hampa dari sisi sepiritual karena belum mengenal agama, yang mana mereka hanya memiliki keyakinan pada diri sendiri (naluriah) dan para pendahulu (leluhur) yang setelah disucikan mereka sebut dengan “Hyang Dewa, hingga secara naluriah mereka kemudian berniat belajar atau mengetahui aksara atau sastra, sebab bisa dibayangkan bagaimana manusia hidup akan selamanya berada pada alam kebodohan atau kegelapan (avidya) jika tanpa mengetahui aksara atau sastra. Disanalah Ni Kiwa dan I Tengen kemudian memutuskan untuk melakukan Dewa Sraya (Madewasraya) maksudnya adalah memohon petunjuk dan bimbingan serta memohon anugerah dari para leluhur-nya yang telah disucikan (Hyang Dewa) dimaksud.
Ni Kiwa dan I Tengen selanjutnya memilih tempat yang dirasa paling tepat (sempurna) untuk Madewasraya adalah di tempat pembakaran jenazah (Pemuhun Setra), sebab di tempat inilah diyakini sebagai pusat api suci terbesar dan tempat paling dekat untuk mencapai alam Niskala. Mengapa demikian, karena di tempat inilah akhir dari segala derajat, tidak ada martabat, tidak ada pegawai dan petani, tidak ada kekayaan dan kemiskinan, tidak ada kekuasaan, kecantikan dan segala duniawi (sempurna).
Hingga Pemuhun Setra ini disimbolkan sebagai pintu gerbang antara alam Sekala (nyata) dengan Niskala (maya). Disinilah kenapa Pemuhun Setra diyakini sebagai tempat yang paling suci karena suci adalah bagian sempurna.
Maka, bagi mereka yang ingin terlahir menjadi insan spiritualis mumpuni atau sejati, tidaklah akan pernah terwujud sebelum dapat mengendalikan api ini terutama yang ada di dalam tubuh kita (Kundalini) dan inilah yang dimaksud dengan peleburan untuk memperoleh pembebasan. Sebab, jika kita memaknai kata terlahir (tercipta) adalah perwujudan dari tidak ada menjadi ada. Dan kita yang telah ada ini jika ingin terlahir kembali haruslah didahului dengan prosesi peleburan / kematian dalam konteks Yajna (Diksa), barulah kemudian kita bisa terlahir kembali (Dwi-Ja).
Dalam pelaksanaan Madewasraya, disinilah Ida Sang Hyang Widhi dalam manifestasi sebagai Dewa Siwa kemudian turun menuju Kahyangan Cungkub, untuk bertemu dengan Sakti-Nya. Sakti ini adalah kekuatan (energi) dari para Dewa yang diesensikan dalam wujud Dewi, dimana Sakti dari Dewa Siwa disini dinamakan Dewi Dhurga (Hyang Nini di Pura Dalem).
Setelah beliau bertemu, Dewa Siwa bersabda : "Wahai Hyang Nini Dalem, Aku menitahkan-Mu, sekarang turunlah menuju kuburan tempat pembakaran jenazah (Tunon = Tunuan atau Pemuhun Setra), Engkau (Hyang Nini) berhak memberkati segala doa Ni Kiwa dan I Tengen, karena mereka sangat tekun melakukan Dewa Sraya dan Hyang Nini berhak mengabulkan segala permintaan mereka. Lalu Hyang Nini berkata kepada Dewa Siwa : "Jika itu perintah Dewa, hamba menuruti titah Dewa dan sekarang juga hamba turun menuju kuburan tempat pembakaran jenazah." Setelah itu Dewa Siwa kembali menuju alam Siwa (Siwa Loka).
Kini diceritakan Hyang Nini Dalem (Dewi Dhurga) datang ke kuburan tempat pembakaran mayat (Pemuhun Setra) dengan maksud memberikan anugerah kepada Ni Kiwa dan I Tengen, karena telah direstui oleh Dewa Siwa.
Setiba di tempat Ni Kiwa dan I Tengen melakukan Dewa Sraya, Ni Kiwa dan I Tengen segera menghormat dan mereka menduga bahwa yang hadir di hadapan mereka adalah sosok leluhur dari kaum perempuan yang telah mereka sucikan (Hyang Dewa).
Hyang Nini kemudian berkata : "Wahai Kiwa dan Tengen, Aku adalah Sakti yang merupakan sumber kekuatan (energi) dari para Dewa ialah manifestasi dari Hyang Widhi (Tuhan) sebagai pencipta, pemelihara dan peleburan alam semesta beserta isinya, yang diesensikan dalam wujud Dewi dinamakan Dewi Dhurga (Hyang Nini di Pura Dalem) sebagai Sakti dari Dewa Siwa”. Telah cukup lama kalian berada disini, melakukan tapa di tempat pembakaran jenazah. Tapa dimaksud adalah berasal dari akar kata tap (tapas) yang sesungguhnya berarti panas ialah merupakan sifat dari energi / tenaga (kekuatan). Tapa disini adalah dimaksudkan untuk mengendalikan api yang merupakan sifat panas dari kekuatan / energi (Dewi) yang diyakini sebagai esensi dari Dewa yang berasal dari kata Div berarti sinar (cahaya) yang sesungguhnya adalah manifestasi dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) sebagi pencipta, pemelihara dan pelebur alam semesta ini beserta isinya. Adapun mengendalikan api dimaksud disini, yang keberadaanya dalam tubuh kita disebut Kundalini, adalah agar dapat terpusat sehingga bisa digunakan untuk suatu tujuan, dalam hal ini kembali kepada Tuhan (moksa).
Atas tapa ini, apakah kemudian yang kalian harapkan !?"
Lalu Ni Kiwa dan I Tengen menjawab : "Daulat Paduka Hyang Nini, ampunkanlah kami dan jika demikian mulai saat ini hamba berkeyakinan bahwa Hyang Widhi-lah sumber dari segalanya, awal dari para leluhur (Hyang Dewa) kami, paduka adalah maha pencipta, pemeilhara dan pelebur alam semesta beserta isinya. Adapun doa harapan kami adalah memohon belas kasih Dewa maupun Dewi (Hyang Widhi) agar kami paham hakikat mikrokosmos dan makrokosmos. Juga paduka Dewi berkenan menganugerahkan kekuatan bathin yang sempurna hingga dapat memahami aneka seni dan budaya supaya hamba tidak terkalahkan oleh siapapun, seperti diantaranya memahami aksara atau sastra hingga dapat melakukan berbagai hal seperti tata cara orang dalam memahami asal-usul penyakit termasuk pengobatannya, hamba juga memahami hakikat bisa, racun dan penyakit (Desti, Teluh, Trangjana) maupun hakikat Pamala-Pamali dan segala ajian ampuh, demikian pula hakikat hidup dan mati, serta hakikat kekuatan bayu, sabda serta idep (perbuatan, ucapan serta pikiran), itulah permintaan kami kepada-Mu wahai Sang Dewi !?".
Kemudian Hyang Nini berkata : "Wahai Kiwa dan Tengen, sekarang Aku akan memberi kalian anugerah. Baiklah, cepatlah julurkan lidah kalian masing-masing, Aku mau me-rajah lidah kalian dengan mantra Om Namasiwaya. Satu persatu mulai dengan Om, Na untuk hidung, Ma untuk mulut, Si untuk mata, Wa untuk tubuh dan Ya untuk telinga.
Demikian pula makna Sang Hyang Omkara, seperti Windhu, Nadha, Ardha Chandra yang berada dalam tubuh, yang dinamakan asal mula Sang Hyang Candra Raditya, yakni di mata kanan adalah Sang Hyang Raditya dan di mata kiri adalah Sang Hyang Candra, dan seterusnya ...
Wahai Kiwa dan Tengen semoga kalian paham tentang tata cara mencapai Moksa karena lidah kalian telah dirasuki kekuatan tulisan gaib, yang merupakan anugerah-Ku kepada kalian dan inilah yang dinamakan ajaran Lingga Aksara. Dimana Lingga berarti Tempat dan Aksara dimaksud adalah Dasa Aksara yakni 10 aksara suci yang merupakan simbol kekuatan para Dewa, selanjutnya disingkat "LIAK" dan tatacaranya untuk menempatkan aksara-aksara tersebut dinamakan Pangeliakan. Hyang Nini kemudian menempatkan Sang Hyang Omkara Sungsang di pangkal lidah (batu manikam) yang merupakan tempat pertemuan Sang Hyang Saraswati di lidah. Ini merupakan pemberi kekuatan gaib kepada bathin, sangat utama, jangan sembrono serta rahasiakanlah karena kalian tidak akan berhasil jika sembarangan (Aja Wera).
Inilah mantra kumpulan sumber kekuatan : "Om Lep Rem, Ngagwa Rem, Papare, Dewataning Bayu Premana" menjadi persemayaman Sang Hyang Saraswati, sebagai tulisan ajaib di lidah Ni Kiwa dan I Tengen serta inilah doa untuk tempat aksaranya, yakni Om Sang Hyang Kedep di pangkal lidahmu, Sang Hyang Mandi Swara di ujung lidahmu, Sang Hyang Mandi Manik di tengah lidahmu, Sang Hyang Nagaresi di dalam otot lidahmu, Sang Hyang Manik Astagina di kulit lidahmu, dewanya adalah Dewa Siwa, sebagai pemberi kekuatan hidup adalah Hyang Brahma, Wisnu dan Iswara, sorganya adalah di hati, di empedu, di jantung, inilah persebaran tempat beliau Sang Hyang Tiga, yakni Ang di hati, Ung di empedu, Mang di jantung. Inilah kekuatan (energi) Sang Hyang Tri Aksara yang patut diingat, Mantranya Ang Ung Mang. Ajaran ini sangat utama, jangan sembrono (Aja Wera), dan dengan memusatkan kekuatan bathin semoga kalian dapat memahami Tatwa Lingga Aksara (Liak) ini, serta hakikat arti Sang Hyang Panca Aksara yang berada di alam (makrokosmos), yang mana tempatnya dan yang mana pula lambang aksara sucinya, yang harus selalu kalian ingat wahai Kiwa dan Tengen, semoga kalian paham.
Selanjutnya, abdikanlah diri kalian pada negeri dan masyarakat serta muliakanlah ajaran Liak yang telah Aku anugerahkan, karena hanya dengan ajaran Lingga Aksara (Liak) saja kalian biasa mencapai pembebasan yang sempurna di dunia ini. Sebab, orang dikatakan sempurna ketika manunggal Sang Hyang Panca Maha Butha ialah hanya saat kematian. Maka sekali lagi Aja Wera karena ketika kalian menggunakan ajaran Liak, disini jasad kalian akan mati sesaat (mati suri) ketika alam jiwa menuju pembebasan kepada Tuhan, inilah yang dikenal dengan istilah alam relaksasi atau levitasi (meraga suksma). Demikianlah, setelah selesai semuanya, Hyang Nini kemudian kembali menuju Kahyangan Cungkub, diiringi penghormatan oleh Ni Kiwa dan I Tengen dengan Mantra : "Om Niratma ditempatkan di leher, Atyatma di antara kedua alis, Niskalatma di pusat telapak tangan, Sunyatma di pusat kepala, alam dewata yang kokoh".
Kini dikisahkan Ni Kiwa dan I Tengen, kini menjadi Rohaniman (Wiku) karena masing-masing telah mendapatkan Anugerah dan Wejangan atau Hakekat (Tatwa) tentang Lingga Aksara (Liak) menjadi sangat terkenal di seluruh negeri dalam segala hal dan sejak saat itu mereka senantiasa meyakini Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) adalah di atas segalanya, sebagai maha pencipta, pemelihara dan pelebur (pemeralina) alam semesta beserta isinya. Mereka menjadi sangat kuat dan sempurna, pandai dan ampuh dalam berucap, segala ragam bahasa dan seni serta budaya, mahir dalam doa pemujaan dan juga pengobatan, sangat tekun serta bijaksana dan mereka senatiasa mengembangkan ajaran Liak dengan mendirikan satu perguruan Sepiritual benama Pasraman Kali Aga di sebuah ketinggian hutan belantara wilayah Karang Wali yang berkedudukan di Mandalaning Neritiya Giri Toh Langkir dimaksud adalah Lereng Barat Daya gunung Agung. (Prasasti : Keberadaan Pura Kiwa Tengen di Mandala Keenam Pura Besakih). Kata Karang Wali jika dimaknakan dimana Karang berarti Tempat (sama dengan Pulau) sedangkan Wali berarti Kekuatan Yang Maha Agung dimaksud Ida Sang Hyang Widi Wasa. Kata Bali berarti Kekuatan Yang Maha Sakti (Agung) dimaksud Ida Sang Hyang Widi Wasa tersurat dalam Rg Veda Kitab Satapatala Brahmana 11.5.6.1 ; Menawa Dharma Sastra III.70.74 dan 81 ; Itihasa dan Purana. Ritual (Yajna) mengagungkan Kekuatan Maha Sakti ini hingga sekarang masih kita gunakan dengan istilah Sembah Hyang (Sembahyang) atau Puja Wali (Puja Bali). Maka Karang Bali berarti Tempat Kekuatan Yang Maha Agung (Ida Sang Hyang Widi Wasa) sama dengan Pulau Dewata (sekarang Pulau Bali).
Tidak diceritakan berapa lama, mereka kemudian berpisah sebab Ni Kiwa selanjutnya ikut suaminya karena menikah dengan Ki Bendesa Madya dan memiliki seorang anak perempuan bernama Ni Pretajala. Sedangkan I Tengen tetap tinggal dan mengamalkan ajaran Liak di Karang Wali. I Tengen menjadi seorang Wiku (Pandita) bergelar Jro Dukuh Sakti artinya orang tua yang medalami ajaran Sakti yang akrab dipanggil Ki Dukuh dan melajang seumur hidupnya (Sukla Brahmacari) serta mengangkat seorang murid bernama I Tutur Menget.
Selanjutnya, Ni Kiwa dan I Tengen masing-masing saling memperdalam ajaran Liak yang dikuasainya dan mengembangkannya untuk memperoleh kekuatan atau Sakti ini, di Bali disebut Kawisesan.
Kata Kawisesan berasal dari Wisesa berarti Sakti karena ajaran Liak pada dasarnya adalah ilmu kerohanian untuk memperoleh kekuatan dengan cara menempatkan aksara-aksara suci yang menjadi lambang kekuatan para Dewa dalam tubuh kita (mikrocosmos).
Berlakunya hukum Rwa Bhineda ialah konsep perbedaan yang diciptakan Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) sebagai hukum keharmonisan atau keseimbangan berlangsungnya alam semesta, seperti missal adanya penciptaan kebaikan akan diimbangi penciptaan keburukan, kebaikan dan kejahatan, siang dan malam, kanan maupun kiri dan sebagainya berpengaruh signifikan terhadap ajaran Liak. Dimana, Ni Kiwa selalu menggunakan bagian badan sebelah kiri dalam memperoleh penyempurnaan dari ajaran Liak, yang dalam Pemujaan Melingkar (Cakra Puja) dikenal dengan istilah Purwa-Uttara (berputar ke kiri) untuk menarik energi, hingga penggunaan aksara Ongkara juga menjadi terbalik (Ongkara Sungsang) maka kemudian disebut dengan Pangiwa (ajaran Liak aliran Kiri). Sedangkan I Tengen dalam mempraktekkan ajaran Liak selalu menggunakan bagian badan sebelah kanan atau berputar ke kanan atau searah perputaran jarum jam (Purwa-Daksina) untuk memperoleh energi hingga kemudian disebut Panengen (praktisi ajaran Liak alur Kanan).
Ajaran Liak aliran Pangiwa selanjutnya lebih memfokuskan pada latihan-latihan Yoga-Seks antara pengikut wanita dan pria. Menurut mereka, tindakan demikian itu akan membantu para penganut untuk menjelajahi indria mereka daripada menundukkannya dan secara nyata mempergunakan energi seksual mereka untuk peningkatan spiritual. Penganut wanita yang ambil bagian dalam latihan-latihan erotik ini dianggap seorang Sakti. Terpisah dari apa yang dijelaskan di atas, dalam banyak praktek Pangiwa para penganutnya mengikut paham "Lima M" yaitu Madya (Anggur), Mamsa (Daging), Matsya (Ikan), Mudra (gerak badan dengan Tarian Khusus) dan Maithua (persatuan Seksual). Selama pelaksanaan upacara tertentu, para penganut Pangiwa bahkan mengunakan obat-obatan dan kimia.
Bagi aliran Pangiwa, dalam upacara ini ajaran Liak dipraktekkan oleh sejumlah pasangan laki-laki dan wanita bertemu pada tengah malam di tempat yang dipilih, misalnya sebuah kuburan, bersuka cita dengan tertawa riang gembira (terbahak) dan melakukan "hubungan seks suci" dengan maksud memperoleh pemuasan maksimal yang dianggapnya sebagai pencapaian kebahagiaan lahir dan bathin. Persatuan seks ini sangat rumit dan terperinci, mulai dengan tindakan-tindakan "pemujaan badan." Sekalipun kebanyakan agama, termasuk agama Hindu (menurut hukum Manu) melarang hubungan seks selama menstruasi, namun praktisi Pangiwa malah mendorongnya dengan keyakinan bahwa selama periode ini energi seorang wanita ada pada puncaknya. Ada Mudra atau gerak tangan yang khas, kebanyakan melambangkan kegiatan seksual. Bahkan lambang AUM tampak dalam praktisi Pangiwa sebagai sebuah simbol mistik yang menekankan persatuan pria dan wanita (Lingga dan Yoni). Seluruh upacara erotik ini sesungguhnya bertentangan dengan dasar fundamental dari agama Hindu, hingga hal inilah yang membuat kebanykan orang menjadi tidak ingin mendiskusikan ajaran Liak terutama dari aliran Pangiwa dan pada saat yang sama, kita juga tahu kenapa ada kitab-kitab yang memberi kita pengetahuan tentang kekuatan Cakra dan Kundalini dalam badan, Tantra, Yantra dan Mantra, juga penggunaan Minuman Keras (Tetabuhan) serta Seks Suci hingga menjadi salah satu alasan orang yang sah melakukan seks haruslah menggunakan upacara penyucian yakni Wiwaha (Pernikahan).
Seiring berkembangnya peradaban, praktek ajaran Liak dari aliran Pengiwa banyak menciptakan ajaran Wegig (Jahat) seperti melakukan Desti (Menyakiti), Teluh (Santet), Trangjana (Sihir/Tenung), Pengasren (Pelet), Pengeger (Penglaris), Penangkeb (Penunduk), Pengasih-Asih dan sebagainya serta ada pula yang dikemas dalam berbagai sarana seperti Sabuk, Pasikepan, Papasangan, Cetik (Racun) dan lain-lain.
Ajaran Liak Pangiwa ini diawali diturunkan kepada Ni Pretanjala (anaknya), sedangkan ajaran Liak aliran Panengen berkembang menjadi Balian. Dikatakan Balian karena berasal dari kata Bali (Wali) berarti Kekuatan Yang Maha Sakti. Maka Balian dapat diartikan sebagai praktisi ajaran Liak dari aliran Kanan (Panengen) yang menggunakan Kekuatan Yang Maha Sakti bertugas memerangi (menghancurkan) praktisi penyalahgunaan ajaran Liak menjadi aliran Pangiwa, misalnya dengan mencari obat ala Bali disebut Usadha untuk menyembuhkan penyakit yang dibuat oleh Liak Pangiwa. Maka apabila terjadi perang (siyat) dengan praktisi Liak aliran Pangiwa biasanya praktisi Liak aliran Panengen akan menggunakan mantra-mantra misalnya seperti : Ong Siwa Gandu angimpus Liak, Siwa Sumedang anundung Liak, mapan aku mapawakan (..........................) untuk menaklukkan Pangeliakan aliran Pangiwa.
Hingga disinilah aliran Pangiwa kemudian dikatakan orang yang mempraktekkan Ilmu Liak pada jalur Kiri yang kita asumsikan pada kejahatan yang jika diwarnakan menjadi Ilmu Hitam dan Panengen adalah orang yang mengaplikasikan Ilmu Liak pada alur Kanan yang diasumsikan pada kebaikan (Ilmu Putih).
Kini diceritakan, Ni Pretanjala yang sudah beranjak dewasa secara tidak sengaja bertemu dengan I Tutur Menget (murid Ki Dukuh) dan mereka saling jatuh cinta pada pandangan pertama hingga akhirnya mereka sepakat untuk berkencan. Kejadian ini kemudian diketahui oleh teman-teman I Tutur Menget. Namun mereka bukannya mendukung percintaan mereka, tetapi malah melecehkan Ni Pretanjala sebagai orang hina karena menganut ajaran Desti yang diciptakan oleh praktisi ajaran Liak aliran Pangiwa, hingga Ni Pretanjala kecewa lalu menangis dan pulang.
Setiba di rumah, Ni Pretanjala mendatangi ayahnya (Ki Bendesa Madya) ingin berkeluh kesah (curhat) sebab selalu dilecehkan oleh kaum lelaki karena menganggap Ni Pretanjala sebagai orang nista akibat menganut ajaran Desti dari ajaran Liak aliran Pangiwa. Ki Bendesa yang juga tidak sepaham dengan ajaran Panestian disamping karena hendak rapat kemudian meminta Ni Pretanjala agar curhat pada Ibunya (Ni Kiwa). Mendengar hal ini, Ni Kiwa yang saat itu sedang menenun menjadi marah dan juga tersinggung pada suaminya karena tidak mendukung ajarannya, bahkan Ki Bendesa justru menyalahkan dirinya yakni Ni Pretanjala dilecehkan adalah karena dirinya mengajarkan Panestian. Ni Kiwa kemudian mendatangi Ki Bendesa Madya yang sedang sibuk mengadakan rapat (peparuman), dan tanpa sadar Ni Kiwa menatap tajam Ki Bendesa dengan sorot mata yang telah teraliri api (kundalini) kemarahan hingga mengakibatkan Ki Bendesa Madya seketika itu juga menjadi hangus terbakar dan tewas di ruang pertemuan sehingga Ni Kiwa menjadi seorang Janda (Balu / Walu). Berikut sepeninggal suaminya, Ni Kiwa kemudian bergelar nama menjadi Walu Nata Ing Madya yang jika anusuarakan menjadi Walu Nateng Madya. Dimana Walu berarti Janda, Nata adalah Tahta Pemimpin (Raja) dan Ing berarti tempat dimana serta Madya adalah nama desa. Kemudian meneruskan pemerintahan desa, karena warga juga tidak ada yang berani menggantikan jabatan Bendesa sebab kabar kesaktian serta kekejaman Walu Nateng Madya membunuh suaminya menggunakan ajaran Liak mulai tersiar di seluruh jagad, hingga mulai sejak itu, masyarakat awam kemudian selalu menganggap semua ajaran Liak (Pangeliakan) itu adalah ilmu yang jahat, padahal yang jahat itu adalah orangnya yang telah mengarahkan ajaran Liak menjadi aliran Pangiwa dan mengembangkannya menjadi Panestian (ajaran Desti).
Ketakutan warga bahkan semakin berdampak pada Ni Pretanjala tidak pernah laku dalam perjodohan, sehingga hal ini semakin menjadikan ketersinggungan bagi Walu Nateng Madya terhadap warganya terutama kaum lelaki karena sudah melecehkan diri dan anaknya.
Berikut dikisahkan ada seorang masyarakat dari kaum perempuan bernama Ni Korsika, yang sakit hati karena dilupakan atau tidak diberikan kasih sayang maupun nafkah serta terpisahkan (cerai) dengan I Abera serta selalu dihina oleh warga desa, datang menghadap kepada Ki Dukuh di pasraman Sesepuh untuk berguru, tapi Ki Dukuh tidak mau mengajari Ilmu Liak (Pangeliakan) sebab tahu niatnya adalah untuk membalas dendam. Selanjutnya, karena Ni Korsika tidak diterima menjadi murid oleh Ki Dukuh akhirnya Ni Korsika berguru Pangeliakan kepada Walu Nateng Madya dan Walu Nateng Madya dengan senang hati menerima Ni Korsika menjadi murid karena merasa senasib yakni benci pada kaum lelaki. Sampai kemudian, Walu Nateng Madya memiliki banyak murid yang kesemuanya adalah kaum perempuan dari barisan sakit hati, namun ada 5 orang yang menjadi murid Utama (Ngarep) diantaranya termasuk Ni Pretanjala karena mendalami Pangeliakan Pangiwa hingga tingkat tinggi, murid berikut adalah Ni Korsika yang sakit hati karena dilupakan dan terpisahkan (cerai) dengan I Abera, Ni Garga yang sakit hati karena dilupakan dan terpisahkan (cerai) dengan I Sugihan, Ni Metri yang sakit hati karena dilupakan dan tercerai dengan I Lembana dan Ni Kurusiya yang sakit hatinya karena dilupakan atau terpisahkan oleh I Kekered.
Diceritakan setelah Ni Korsika mahir dan menguasi Pangeliakan Desti dengan merubah diri menggunakan kekuatan sihir menjadi Celuluk, kemudian benar-benar membalas dendam pada I Abera dan membuat grubug hingga banyak warga desa yang mati, lalu menebar fitnah bahwa Ki Dukuh-lah yang membuat grubug dengan ajaran Liak yang dikuasainya, untuk menghilangkan jejak dirinya yang telah menyalahgunakan Pangeliakan menjadi Panestian.
Dengan fitnah yang disebar Ni Korsika, spontan masyarakat desa diantaranya bernama I Ngurah Tangkeb, I Wayahan Tebeng, I Made Jelawung dan I Nyoman Pengadangan mendatangi pasraman Sesepuh dan berunjuk rasa ingin membunuh Ki Dukuh, karena masyarakat menduga bahwa benar Ki Dukuh-lah yang membuat grubug.
Kini masyarakat yang terhasut dan percaya bahwa Ki Dukuh-lah yang membuat grubug, lalu mendatangi pasraman Sesepuh untuk membunuh Ki Dukuh dan untuk memediasi kemarahan warga desa, Ki Dukuh kemudian berupaya menjelaskan apa dan bagimana Tatwa Liak (Pangeliakan) sesungguhnya, sebagaimana ditulis pada BAB berikut :
II. TATWA LIAK
Jika kita mengacu pada aksara-aksara suci Hindu serta kisah-kisah yang menjadi legenda turunnya Ajaran Liak seperti yang apa disuratkan pada beberapa lontar yang merupakan warisan adi luhung dari para lelangit (leluhur) kita sebagai dasar sastra agama dan budaya Hindu khususnya di Bali, tidaklah ditemukan adanya makna aksara berarti LEAK dan yang ada adalah kata LIAK. Kata LIAK disini merupakan rangkaian dari 2 suku kata yakni "Li" dan "Ak" yang merupakan singkatan dari Lingga Aksara, yang mana Lingga berarti Tempat dan Aksara berarti Huruf. Adapun aksara atau huruf yang dimaksud disini adalah Dasa Aksara yakni 10 aksara suci yang merupakan simbul kekuatan (sakti) dari 10 Dewa sebagai manifestiasi dari Tuhan (Ida Sang Hyang Widhi Wasa) dalam upaya menjaga keseimbangan semesta dari segala penjuru alam (Pengider Bhuana) yang di Bali dikenal dengan Dewata Nawa Sanga.
Maka ajaran Liak adalah ajaran kerohanian bersumber dari Bali yang bertujuan untuk mencari pencerahan lewat aksara suci, yaitu menempatkan dengan cara memasukkan dan mengeluarkan kekuatan aksara dalam tubuh melalui tata cara tertentu.
Kekuatan aksara ini disebut Panca Gni Aksara dan siapapun manusia yang mempelajari kerohanian dalam merk apapun apabila mencapai puncaknya dia pasti akan mengeluarkan cahaya (aura). Cahaya ini bisa keluar melalui lima pintu indra tubuh, yakni : telinga, mata, mulut, ubun-ubun, serta kemaluan, sehingga apabila kita melihat orang Ngelekas atau yang dikenal dengan istilah Meraga Sukma di kuburan atau tempat sepi, api seolah-olah membakar orang tersebut dan api atau cahaya inilah yang lazim disebut Endihan yang sebenarnya tidak perlu ditakuti (bersikaplah sewajarnya) karena bukanlah seperti api yang bisa digunakan masak, melainkan adalah aura. Namun, selama ini ajaran Liak selalu dikambinghitamkan padahal pada prinsipnya ajaran Liak (Pangeliakan) tidak mempelajari bagaimana cara menyakiti orang, yang menyakiti adalah orangnya (oknumnya) ketika mereka telah menguasai ilmu apapun yang dimilikinya saat mengaplikasikannya dalam sebuah tindakan menjadi aliran Kiri (Pangiwa).
Seperti pada contohnya, ilmu Fisika, Biologi, Kimia dan sebagainya, semua diciptakan untuk kebaikan dunia, namun bisa digunakan untuk menyakiti oleh orang yang memahaminya.
Secara gamblang, sebelum lebih jauh berpikir tentang ilmu (merk apapun) berpikirlah terlebih bahwa ilmu itu ibarat seperti pedang. Dimana pedang memiliki dua bilah mata yang bisa disabetkan ke kanan dan ke kiri atau kemana saja. Untuk apa memiliki pedang, seberapa tajam pedang, adalah kebutuhan dan tingkat penguasaan dari manusia itu sendiri.
Begitu juga dengan Pangeliakan, adalah ajaran bagaimana dia mendapatkan sensasi ketika bermeditasi dalam perenungan aksara-aksara suci yang menjadi lambang kekuatan para Dewa tersebut dan setelah manusia itu menguasainya maka bisa digunakan apa saja atau ke arah mana saja sesuai kebutuhan mereka yang menguasainya. Disini, ketika sensasi itu datang maka jiwa orang itu bisa jalan-jalan keluar tubuhnya melalui Ngelekas (Meraga Sukma). Kata Ngelekas artinya kontraksi bathin agar badan astral kita bisa keluar. Ini pula alasannya orang Ngeliak apabila sedang mempersiapkan puja bathinnya disebut "Angeregep Pangelekasan". Sampai di sini jiwa kita bisa jalan-jalan dalam bentuk cahaya yang umum disebut "Endihan" tadi, dimana bola cahaya melesat dengan cepat. Diulas kembali bahwa Endihan ini adalah bagian dari badan astral manusia, badan ini tidak dibatasi oleh ruang dan waktu (dimensi) hingga disinilah pelaku bisa menikmati keindahan alam dalam dimensi bathin yang lain.
Namun jangan salah, dalam dunia Pangeliakan juga ada kode etiknya, sebab tidak semua orang bisa melihat Endihan, juga tidak sembarangan berani keluar dari badan kasar kalau tidak ada kepentingan mendesak (terpaksa).
Peraturan yang lain juga ada seperti tidak boleh masuk atau berada dekat rumah orang yang memiliki kematian, orang Ngeliak hanya shopingnya di kuburan (Pemuhunan Setra). Disini apabila ada mayat baru, praktisi yang mendalami ajaran Liak wajib datang ke kuburan untuk memberikan doa agar jiwanya mendapat tempat yang baik sesuai karmanya.
Begini bunyi doanya Ngeliak memberikan berkat, "Ong, Gni Brahma anglebur Panca Maha Butha, anglukat sarining mertha, mulihakena kita ring Bhatara Guru, tumitis kita dadi manusia maha utama, Ong Rang Ring Sah Preta Namah." Sambil membawa Kuwangen untuk mengharumkan roh Sang Lampus (orang meninggal) dan Kelapa Gading untuk dipercikkan sebagai Tirtha agar bisa Amor Ring Achintya (manunggal dengan Hyang Widhi). Namun, disinilah terkadang menimbulkan perbedaan pandangan bagi orang awam dikatakan orang Ngeliak ke kuburan adalah memakan mayat tersebut.
Lalu kenapa menerapkan ajaran Liak harus di kuburan karena paham Liak seperti yang telah dijelaskan di atas, adalah apapun status dirimu menjadi manusia, orang sakti, sarjana, kaya, miskin, akan berakhir di kuburan. Pada tradisi sebagian orang (di India-red) meyakini tidak ada tempat yang tersuci selain di kuburan. Kenapa demikian, karena di tempat inilah para roh berkumpul dalam pergolakan spirit, bagi penganut ajaran Tantric ini bermeditasi di kuburan disebut meditasi "Kavalika". Sementara di Bali, kuburan dikatakan keramat karena sering dimunculkan dengan pemahaman akan hal-hal yang meyeramkan, mungkin ini juga disebabkan karena kita jarang membaca lontar "Tatwaning Ulun Setra". Sampai, kita tidak tahu sebenarnya bahwa kuburan adalah tempat yang paling sempurna untuk bermeditasi, memohon dan ataupun memberikan berkat doa. Sementara di Bali, justru ada beberapa daerah yang terkesan lucu menganggap kuburan adalah tempat sebel atau leteh (kotor). Cerita ini dimulai, dimana ketika ada orang meninggal (Ngaben), keluarganya tidak boleh sembahyang ke pura karena alasan sebel. Padahal, kalau Ngaben kita juga mengahaturkan Panca Sembah kepada Hyang Widhi di kuburan, lalu dimana beda letak sebel Pura dan sebel Kuburan bagi Tuhan !? Ini hanya pemberlakuan awig-awig dari manusia saja yang tanpa disadari justru melahirkan perbedaan pandangan antara Setra dan Pura, dimana Setra adalah tempat suci dan Pura adalah tempat yang disucikan. Maka disini dipesankan, Hindu jangan disakralkan tetapi mari kita sucikan, karena ada perbedaan dalam perlakuan antara mensakralkan, suci dan disucikan (mensucikan).
Praktisi yang mendalami ajaran Liak juga mempunyai keterbatasan tergantung dari tingkatan rokhani yang dipelajarinya. Ada 3 golongan ajaran Liak, dimana pada masing-masing golongan ini memiliki tingkatan berbeda, yakni Liak golongan Nista dari tingkat 1 hingga 7, Liak Madya dari tingkat 1 hingga 7 dan Liak Utama dari tingkat 1 hingga 7, sehingga total tingkat Pangeliakan dari ketiga golongan tersebut di atas sebanyak 21 (Selikur).
Setiap tingkat mempunyai kekuatan tertentu, hingga disinilah penganut ajaran Liak sering kecele, ketika emosinya labil, karena ajaran tersebut bisa membabi buta atau bumerang bagi dirinya sendiri dan hal inilah yang kemudian membuat rusaknya nama perguruan, sama halnya seperti pistol karena salah pakai bisa menjadi berbahaya. Maka kestabilan emosi menjadi sangat penting, hingga di sini biasanya sang guru (nabe) sangat ketat dalam memberikan pelajaran.
Seperti yang telah dijelaskan, bahwa Pangeliakan adalah ajaran tentang tata cara menempatkan Sang Hyang Dasa Aksara di dalam badan (Bhuana Alit), yang merupakan linggih (stana) Dewata Nawa Sanga di dalam tubuh manusia.
Maka disini dapat diuraikan cara menyatukan ataupun menempatkan Sang Hyang Dasa Aksara dalam badan ini, sebagai berikut :
Pertama Sang Hyang Sandhi Reka yang terletak dalam badan kita ini, beliau bertapa-beryoga sehingga beliau menjelma menjadi Sang Hyang Eka Jala Rsi. Selanjutnya, Sang Hyang Eka Jala Rsi beryoga muncul Sang Hyang Ketu dan Sang Hyang Rahu. Berikut, Sang Hyang Rahu menciptakan kala (waktu), kegelapan, niat jahat yang sangat banyak, sedangkan Sang Hyang Ketu menciptakan para Dewa, Wewaran juga Tiga Aksara yang sangat berguna, diantaranya Wreastra (Ha, Na, Ca, Ra, Ka, Da, Ta, Sa, Wa, La, Ma, Ga, Ba, Nga, Pa, Ja, Ya, Nya) dan Swalalita serta Modre, sehingga jumlah adalah dua puluh huruf. Aksara Modre bersatu dengan sembilan huruf Wreastra yaitu dari Ha-Wa kemudian disebut Dasa Sita. Aksara Swalalita, bersatu dengan sembilan huruf Wreastra lainnya yaitu dari La-Nya, kemudian disebut Dasa Sila dan Dasa Bayu. Bertemunya ketiga induk dari aksara suci tersebut yakni Dasa Sita, Dasa Sila dan Dasa Bayu menjadi Dasa Aksara.
Kedelapan belas aksara ini dapat dirangkaikan menjadi suatu kalimat untuk memudahkan menghapalkannya, yakni : Hana Caraka Gata Mangaba Sawala Pada Jayanya. Artinya : ada (dua orang) hamba / utusan berpengalaman membawa surat / titah / perintah, sama perwiranya. Tetapi ada pula yang menulis aksara ini sebagai berikut : Hana Caraka Dhata Sawala Pada Jayanya Magabathanga.
Artinya : Ada dua prajurit / utusan berkelahi, sama saktinya akhirnya keduanya sama-sama mati. Sehingga kalau huruf tersebut dilafalkan terbalik yakni Ngathabagama Nyayaja Dapa Lawasa Tadha Anha. Artinya : Tidak ada kematian (abadi = agama), tidak ada kesaktian, tidak ada utusan, ialah hampa sebelum adanya aksara.
Kedelapan belas aksara ini merupakan Wreastra, yakni aksara yang tampak dan dapat diajarkan kepada siapa saja. Sedangkan aksara yang tidak tampak yang terdiri atas dua buah aksara disebut Swalalita yaitu Ang = Tha dan Ah = Dha, merupakan aksara yang tidak boleh diajarkan kepada sembarang orang (Aja Wera). Kedua aksara Swalalita ini dilengkapi dengan Pangangge Aksara, yaitu kelengkapan aksara berupa Ardha-Chandra berbentuk bulan sabit, Windhu yang melambangkan matahari berbentuk bulatan dan Nadha melambangkan bintang yang dilukis sebagai segi tiga.
Ketiga Pangangge Aksara ini sering dipasangkan dengan aksara huruf hidup: A, I, U, E, O sehingga dibaca menjadi : Ang, Ing, Ung, Eng dan Ong. Suku kata ini disebut : Ang-Kara, Ing-kara, Ung-kara, Eng-kara, dan Ong-kara, dimana bentuk seperti ini disebut Modre. Kelengkapan ketiga aksara Swalalita inilah yang sering dihubungkan dengan kekuatan dan simbol dari Dewa, sehingga bentuk Windhu adalah lambang api simbul esensi Dewa Brahma, sama dengan aksara Ang. Bentuk Ardha-Chandra adalah lambang air simbul esensi Dewa Wisnu sama dengan aksara Ung. Dan bentuk Nadha adalah lambang udara simbul esensi Dewa Iswara sama dengan aksara Mang yang dalam posisi di tengah (Dalem / Madya) disebut Dewa Siwa. Ketiga aksara ini jika disatukan akan menjadi Ang-Ung-Mang atau A-U-M yang dibaca Aum (Om) di Bali diucapkan Ong. Aksara Ong-kara inilah sumber atau ringkasan (penggabungan) dari semua aksara, sehingga disebut Wija-Aksara, ialah aksara yang maha suci, lambang Dewa Trimurti.
Kedudukan kedelapan belas aksara suci tersebut di dalam tubuh manusia atau bhuana alit adalah sebagai berikut : Selengkapnya baca Buku Tatwa Liak).
III. PROSES BELAJAR LIAK
Sebelum seseorang belajar Ilmu Liak terlebih dahulu harus diketahui otonan orang tersebut (hari lahir versi Bali) hal ini sangat penting, karena kwalitas dari ilmu yang dianut bisa diketahui dari otonanya, satu contoh apabila murid mempunyai otonan Sukra Pon Medangsia berarti dewanya adalah Brahma, otomatis karakter orang tersebut cenderung emosional dalam hal apapun, dan digandrungi perempuan, maka sang guru (nabe) harus hati-hati memberikan pelajaran ini, kalau tidak maka murid akan celaka oleh ilmu itu sendiri.
Setelah diketahui barulah proses belajar Ngeliak dimulai. Dimana, pertama-tama murid harus mewinten Brahma Widya, dalam bahasa lontar Ngerangsukang Kawisesan dan hari baikpun tentunya dipilih oleh sang guru (nabe).
Tahap dasar murid diperkenalkan dengan Aksara Wayah (Modre), dalam hal ini aksara tersebut tidak bisa dieja karena merupakan aksara baku.
Selajutnya murid di-rajah pada seluruh tubuh dari atas sampai bawah oleh sang guru (nabe), hal ini dilakukan di Setra pada saat hari Kajeng Kliwon Enyitan.
Ada 5 sumpah yang harus ditaati dalam belajar Ngeliak, ialah :
1. Hormat dan taat dengan ajaran yang diberikan oleh guru (nabe).
2. Selalu melakukan ajapa-ajapa untuk menyembah Siwa dan Dhurga dalam bentuk Ilmu Kawisesan (Sakti).
3. Tidak boleh pamer kalau tidak kepepet dan selalu menjalankan Dharma (kebaikan).
4. Tidak boleh makan daging kaki empat, tidak boleh berzinah.
5. tidak boleh menyakiti atau dengan cara apapun melalui ilmu yang dipelajari.
Mungkin karena peraturan Nomor 4 ini yang paling ditakuti, maka dahulu dikatakan kebanyakan ilmu ini dipelajari oleh kaum perempuan, sebab kaum perempuan biasanya lebih kuat menahan nafsu birahi dari laki-laki dan ini pula alasanya kenapa para wanita dikatakan bisa lebih cepat menguasai Pengeliakan dari pada laki-laki, dikarenakan wanita lebih kuat nahan nafsu.
Selesai dari proses ini, barulah sang murid sah diajarkan Ngeliak oleh sang guru berdasar tingkatan, sebagai berikut : Selengkapnya baca Buku Tatwa Liak).
IV. TUNTUNAN MEDITASI LIAK (LINGGA AKSARA)
Meditasi Lingga Aksara dilakukan dengan cara menempatkan aksara ialah Dasa Aksara. Adapun manfaat yang didapatkan adalah, sebagai berikut :
1. Kita akan mendapatkan tuntunan yang terus menerus dari niskala.
2. Kita akan mendapatkan perlindungan dari pengaruh buruk kehidupan.
3. Kita akan bisa menyembuhkan penyakit dalam diri.
4. Membentengi diri dari pengaruh black magic atau ilmu hitam.
5. Kita akan mendapatkan kewibawaan yang maha agung.
6. Kita akan mampu melindungi orang lain dan pekarangan dari pengaruh buruk dan ilmu hitam.
7. Akan tetap sehat secara pisik dan mental karena organ penting tubuh dan system tubuh akan disehatkan dan dikuatkan.
Adapun cara melatih meditasi Liak (Lingga Aksara) secara umum adalah : (Selengkapnya baca Buku Tatwa Liak).
V. AKHIR LEGENDA
Singkat cerita, setelah warga diantaranya I Ngurah Tangkeb, I Wayahan Tebeng, I Made Jelawung dan I Nyoman Pengadangan semua menguasai Pangeliakan, selanjutnya Ki Dukuh mengajak warga menuju Karang Setra untuk mencari tahu siapa sebenarnya yang membuat grubug dengan menyalahggunakan Pangeliakan. Dan ternyata benar, masyarakat menyaksikan bahwa Walu Nateng Madya serta murid-muridnya telah menyalahgunakan ajaran Liak menjadi aliran Pangiwa, lalu memfitnah Ki Dukuh-lah yang membikin grubug tersebut hingga banyak warga desa yang mati, mengingat dulu Ni Korsika tidak mau diterima sebagai murid oleh Ki Dukuh.
Hingga akhirnya terjadilah perang tanding (siyat) dengan sama-sama merapalkan ajaran Liak (Pangeliakan) antara kelompok Ni Kiwa (Pangiwa) dan Ki Tengen (Panengen) di Karang Setra.
Dalam siyat tersebut, Walu Nateng Madya memerintahkan seluruh muridnya merubah wujudnya menggunakan sihir (mistik). Dimana Ni Korsika menjadi menjadi Bhuta Petak (makhluk menyeramkan berwarna Putih). Ni Korsika kemudian menyerang Ki Dukuh bersama Ni Garga yang juga telah merubah wujud menjadi Bhuta Bang (makhkuk menyeramkan berwarna Merah), Ni Metri menjadi Bhuta Jenar (makhkuk menyeramkan berwarna Kuning) dan Ni Kurusiya menjadi Bhuta Ireng (makhkuk menyeramkan berwarna Hitam).
Untuk menandinginya, Ki Dukuh juga memerintahkan masyarakat yang telah menjadi muridnya berubah menjadi Bhuta, yakni I Ngurah Tangkeb menjadi Bhuta Anggapati, I Wayahan Tebeng menjadi Bhuta Prajapati, I Made Jelawung menjadi Bhuta Banaspati.
Sementara I Nyoman Pengadangan yang merupakan murid paling sakti menjadi Banaspati Raja beruwujud angker (buas) hingga diasumsikan seperti Singa (Raja Rimba) disebut Barong karena menerapkan ajaran Liak dengan merapalkan aksara Modre yakni Ba dan Rong, sampai terkadang ada orang yang memberikan julukan Singa Barong, hingga berhasil membuat para murid Walu Nateng Madya semua kewalahan.
Dimana Ni Korsika dalam wujud Bhuta Petak akhirnya keteter menghadapi I Ngurah Tangkeb yang juga telah berubah menjadi Bhuta Anggapati. Ia lari ke Timur dan bersembunyi di Desa Purwa, disana ia bergelar Bhuta Janggitan serta bersumpah senantiasa menghuni badan manusia dan mahluk lainnya serta berjanji akan selalu mengganggu mereka yang keadaannya sedang lemah atau dimasuki nafsu angkara murka.
Sementara Ni Garga dalam wujud Bhuta Bang kewalahan menghadapi I Wayahan Tebeng yang juga telah berubah menjadi Bhuta Prajapati. Ia lari ke arah Selatan dan bersembunyi di Desa Daksina, disana bergelar Bhuta Langkir sebagai penghuni kuburan dan perempatan serta berjanji akan selalu merusak mayat yang diprosesi (pralina) melanggar waktu / dewasa. Ia juga akan mengganggu orang yang memberikan dewasa yang bertentangan dengan ketentuan upacara.
Ni Metri dalam wujud Bhuta Jenar kewalahan menghadapi I Made Jelawung yang juga telah berubah wujud menjadi Bhuta Banaspati. Ia lari ke arah Barat dan dan bersembunyi di Desa Pascima, disana bergelar Bhuta Lembu Kaniya sebagai penghuni sungai, batu besar, dimana Ia berjanji akan selalu mengganggu atau memakan orang yang berjalan ataupun tidur pada saat-saat yang dilarang oleh kala (waktu), misalnya tengai tepet atau sandhi kala.
Sedangkan Ni Kurusiya yang dalam wujud Bhuta Ireng juga kewalahan menghadapi I Nyoman Sakti Pengadangan yang juga telah berubah wujud menjadi Bhuta Banaspati Raja (Barong). Ia lari ke Utara dan bersembunyi di Desa Uttara, disana bergelar Bhuta Taruna sebagai penghuni kayu-kayu besar seperti kepuh, beringin, kepah, dan lain-lain yang dipandang angker, dimana dia juga berjanji akan memakan orang yang menebang kayu atau naik pohon pada waktu yang terlarang oleh dewasa.
Melihat para muridnya kocar-kacir, Walu Nateng Madya menjadi semakin geram, kemudian naik ke pohon Beringin yang tumbuh di Karang Setra. Dimana pohon Beringin ini adalah pohon yang sering digunakan sebagai tempat istirahat atau pesayuban / perarian (Raren) setiap orang yang menerapkan ajaran Liak, dengan maksud Walu Nateng Madya merubah wujudnya menjadi Bhuta Dengen (makhkuk menyeramkan Panca Warna atau Brumbun) yang kemudian disebut Rangda karena merealisasikan ajaran Liak dengan merapalkan aksara Modre (Rang dan Dha) untuk menghadapi Ki Dukuh.
Kondisi itu, dimanfaatkan Ki Dukuh untuk mengatur siasat dan memanggil serta memerintahkan I Tutur Menget yang telah menjadi seorang Kstaria untuk menantang Walu Nateng Madya guna memancing kemarahannya. Sebab, kemarahannya sendirilah yang nantinya akan dapat digunakan menjadi senjata untuk mengalahkan orang yang mempelajari Ilmu Liak atau ajaran Kerohanian, sementara Ki Dukuh pergi mencari tempat yang strategis untuk mengukur kekuatan lawan dan memberikan kesempatan kepada Ksatria Menget. Setelah ditantang sekian lama namun tidak turun juga, akhirnya Ksatria Menget menyusul naik ke pohon Beringin (Ngerancab Raren) untuk menyeret Walu Nateng Madya yang telah berubah menjadi Butha Dengen.
Atas perlakuan Ksatria Menget maka Walu Nateng Madya menjadi marah dan terjadi perkelahian namun akhirnya Ksatria Menget kewalahan sebab Walu Nateng Madya tidak akan pernah mati ditusuk dengan kerisnya karena pengaruh Pangeraksa Jiwa dan I Tutur Menget kemudian lari mencari Ki Dukuh.
Melihat kejadian itu, para lelaki dari murid-murid Walu Nateng Madya, diantaranya I Abera, I Sugihan, I Lembana dan I Kekered yang akhirnya datang ke Karang Setra karena mengetahui dan tidak terima prilaku mereka yang telah menyalahgunakan ajaran Liak menjadi aliran Pangiwa (Liak Desti), mereka mengamuk berusaha mengeroyok ingin membunuh Walu Nateng Madya yang sudah berwujud Butha Dengen, karena mereka mengganggap dialah yang harus bertanggung jawab. Mereka juga menghancurkan segala yang ada disekitarnya. Masih belum puas juga, mereka menyiksa dirinya sendiri untuk melampiaskan kemarahannya dan menusuk-nusuk diri dengan keris (simbul Purusa selalu akan ngurek atau ngunying Perdana) sampai kondisi mereka menjadi lemas semua, (Keris Dance kata orang Inggris).
Walu Nateng Madya kemudian pergi meninggalkan mereka untuk selalu mencari dan kapan saja berhasil membunuh I Tutur Menget yang akhirnya telah diruwat / disucikan (mawinten) menjadi seorang Pemangku dan Ki Tengen yang bergelar Ki Dukuh (Orang Tua = Pandhita) terutama disaat mereka sedang Ngastawa / me-Puja, disanalah praktisi ajaran Liak dari aliran Pangiwa akan merasa mencapai target pemuasan terbesar (balas dendam) karena mereka selalu dianggap sebagai penghalang dalam pencapaian penguasaannya pada tingkat yang lebih tinggi.
Ki Dukuh yang tidak bertemu karena selalu berselisih arah dengan Walu Nateng Madya kemudian datang untuk menangkan warga dan Ki Dukuh kembali memanggil para muridnya guna menetralisir / mengharmoniskan semua kekuatan (Positif maupun Negatif) dari segala penjuru dengan menggelar upacara Bhuta Yajna (Mecaru).
Setelah warga tenang dan desa tentram, Ki Dukuh kemudian kembali memerintahkan I Ngurah Tangkeb yang dalam wujud Bhuta Anggapati menyusul Ni Korsika ke Desa Purwa dan untuk menetralisir kekuatan negatifnya, disana bergelar Bhagawan Penyarikan. Sedangkan I Wayahan Tebeng yang berwujud Bhuta Prajapati menyusul Ni Garga ke Desa Daksina dan untuk menetralisir kekuatan negatifnya, disana bergelar Bhagawan Mercu Kunda. Sementara I Made Jelawung yang berwujud Bhuta Banaspati menyusul Ni Metri ke Desa Pascima dan untuk menetralisir kekuatan negatifnya disana bergelar Bhagawan Sindhu. Serta I Nyoman Sakti Pengadangan yang berwujud Banaspati Raja (Barong) menyusul Ni Korsika ke Desa Uttara dan untuk menetralisir kekuatan negatifnya disana bergelar Bhagawan Tatul. Dan sejak itu, mereka kemudian diperintahkan oleh Sang Hyang Titah untuk menjadi saudara-saudara kita disebut Saudara Empat (Catur Sanak) yang senantiasa akan membantu baik dalam suka dan duka bahkan sedari kita masih dalam kandungan hingga kembali kepada Sang Pencipta (Amor ring Achintya), maka ingatlah mereka selalu. Berikut, berkat tapanya yang teguh, Saudara Empat kita mendapat hingga 108 kali perubahan julukan (gelar) misalnya Sang Anggapati menjadi Sang Hyang Suratma, Sang Prajapati berjuluk Sang Hyang Jogor Manik, Banaspati menjadi Sang Hyang Dora Kala, dan Sang Banaspati Raja mendapat julukan Sang Maha Kala, bahkan mereka juga yang bergelar Catur Dewata ialah Dewa Iswara, Dewa Brahma, Dewa Mahadewa dan Dewa Wisnu. (Kandapat-red). Sedangkan I Tutur Menget, disimbolkan sebagai diri kita sendiri (manusia sejati) bergelar I Ketut Petung dan diperintahkan tetap berada di Desa Madya yang jika setelah disucikan (mawinten / madiksa) menjadi seorang Emban (Pemangku) dan atau bersama Ki Dukuh (Pandhita) akan dituntut senantiasa dapat menetralisir kekuatan negatif hingga selalu berupaya manunggal (amor) dalam Dewa Siwa.
Hingga kini, persetruan Rangda dan Barong berlangsung abadi bahkan hingga kini dipralinggakan sebagai lambang hukum alam yakni Rwa Bhineda adalah dua hal berlawanan seperti kebaikan (Dharma Sadhu) dan keburukan (Dharma Weci) akan selalu sejalan abadi sebagai upaya keseimbangan Sang Pencipta dalam melangsungkan semesta dan Tatwa Liak ini akan senantiasa dikenang serta menjadikan pondamen dari salah satu warisan kebudayaan masyarakat Bali. Dimana Rangda (Bhuta Dengen / Panca Warna) dikenal dengan sebutan Ratu Ayu dari jelmaan Ni Kiwa atau Walu Nateng Madya yakni kata Ratu berarti seorang pemimpin dari kaum perempuan dan Ayu adalah yang berparas cantik. Sedangkan Barong dikenal nama Jro Gede yang diasumsi sebagai jelmaan Banaspati Raja karena merupakan murid paling sakti ialah I Nyoman Sakti Pengadangan. Dia yang selalu diandalkan untuk menertalisir kekuatan negatif di bawah asuhan Pemangku (Pinanditha) dan Dukuh atau Sulinggih (Pandhita) sebagai Emban atau Empunya.
Selanjutnya untuk megenang kisah ini, maka dalam setiap pemberian nama anak di Bali selalu akan menggunakan awalan Ni sebagai julukan perempuan dan I sebagai julukan laki, disusul kata Ngurah atau Gede atau Putu atau Wayahan (Wayan) sebagai gelar dalam urutan kelahiran anak pertama, Made atau Kadek atau Nengah sebagai anak kedua, Nyoman atau Komang sebagai anak ketiga dan Ketut sebagai anak keempat.
Berikut, kata Rangda jika ditinjau dari makna aksara berasal dari aksara Rang yang direcah dari aksara Ang adalah aksara suci Tuhan (aksara modre) sebagai penciptaan awal (Rang, Ring, Sah) yang diesensikan sebagai Dewa Brahma ialah wujud Akasa dan Da yang dianusuarakan dari aksara Dha sama dengan Ah (aksara Swalalita) berarti Pertiwi, maka Rangda adalah aksara suci berarti peciptaan awal Akasa dan Pertiwi (semesta) sama dengan aksara Ang dan Ah, inilah yang dimaksud kekuatan Rwa Bhineda.
Sedangkan Barong berasal dari aksara Ba adalah aksara suci Tuhan sebagai pencipta dan salah satu penjaga keseimbangan alam yang diesensikan sebagai Dewa Brahma dalam Dewata Nawa Sanga dan Rong adalah ringkasan seluruh aksara yakni Ong-kara ialah aksara suci Tuhan maha sempurna.
Maka Barong adalah aksara suci berarti penciptaan keseimbangan (kesempurnaan). Sehingga jangan sembarangan mengucapkan kata Rangda karena Rangda adalah aksara yang tidak tampak, sama dengan menyebut aksara Rwa Bhineda yakni Ang dan Ah salah satunya sebagai lambang Bapa dan Meme. Hingga pada kata Liak, suku kata Li kemudian dikenang sebagai nama barang Ni Meme (Ni Kiwa) dan Ak kemudian dikenang sebagai nama barang I Bapa (I Tengen). Dimana bukti Prasasti dari kebenaran kisah / sejarah ini, tampak jelas masih terukir hingga kini diantaranya keberadaan palinggih atau pura Kiwa Tengen yang berkedudukan bahkan di mandala keenam pura Besakih, sedangkan mandala tertinggi adalah ketujuh tanpa adanya pura sebagai lambang kekosongan, sementara dalam pura keluarga distanakan palinggih Rong Dua dan Barong adalah aksara berarti penciptaan keseimbangan untuk mencapai kesempurnaan, hingga kehadiran Barong akan menyeimbangkan dengan satu Rong di tengah pada Rong Dua menjadi Rong Tiga (Kemulan), maka Barong dan Rangda ini sesungguhnya adalah aksara berarti Kawitan, bukan Rangda berarti Janda dan bukan pula Barong berasal dari kata binatang Beruang.
Hingga sekarang, aksara Ang Ah selalu digunakan sebagai aksara Pangurip (Penciptaan / Kelahiran) yakni Akasa ke Pertiwi disebut Ngaksara misalnya digunakan dalam Puja Pasupati dan kebalikannya adalah aksara Ah Ang sebagai aksara Pralina (Kematian) yakni Pertiwi ke Akasa disebut Ngaskara misalnya digunakan dalam Puja Pangestu, (jangan sampai terbalik karena maknanya berbeda).
VI. PRASASTI
Prasasti yang hingga kini masih ada sebagai bukti yang mengarah pada kebenaran legenda yang dimuat dalam Tatwa Liak, diantaranya :
A. Prasasti Tersirat. Keberadaan nama-nama Desa hingga kini tersirat pada Pengider Bhuana yaitu sembilan penjuru mata angin yang dijaga oleh sembilan Dewa beserta Sakti-Nya sebagai manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa disebut Dewata Nawa Sanga, juga nama-nama para Pelaku masih tersirat dalam Kanda Pat, serta keberadaan Ajaran Liak (Lingga Aksara) masih tersirat pada Dasa Aksara, Wewaran, Urip, dan sebagainya yang jika dihimpun menjadi sebagai berikut : Selengkapnya baca Buku Tatwa Liak).
B. Prasasti Tersurat.
a. Keberadaan pura Kiwa Tengen pada mandala ke VI di pura Besakih.
b. Keberadaan pura Dalem di setiap desa yang ada di Bali, pura Dalem Ped di Nusa Penida sebagai Ratuning Dalem berikut Pesimpangannya pada pura lain seperti yang ada di pura Dang Kahyangan Rambutsiwi.
c. Keberadaan pura Kanda Pat di Peguyangan.
d. Keberadaan pralingga Rangda dan Barong sebagai simbul Rwa Bhineda (Kiwa – Tengen).
e. Keberadaan Tugu bernama Catus Pata pada Perempatan Jalan, Sapuh Jagat pada Pertigaan dan Sedahan Karang (Penunggu).
f. Keberadaan pelinggih Rong Dua sebagai stana Sang Hyang Rwa Bhineda (Perdhana Purusha - Dewa Hyang).
g. Keberadaan pralingga Lanang Istri (Linga Yoni) pada beberapa pura sebagai prasasti Purusha Perdhana.
h. Keberadaan pelinggih Rong Tiga (Kemulan) sebagai stana Sang Hyang Tri Purusha (Kesempurnaan) ialah Siwa, Sadha Siwa, Parama Siwa.
i. Dan seterusnya ... seperti yang tersurat pada beberapa Rerajahan.
VII. CATATAN PENULIS
Penulis menyadari belum mengetahui ajaran Liak secara menyeluruh. Namun, guna mengangkat citra Liak yang semakin terpuruk karena selama ini selalu dikambinghitamkan hanya sebagai ilmu kejahatan, disinilah penulis mengajak secara perlahan memudarkan tradisi istilah Mebalih Calon Arang yang yang sebenarnya adalah memunculkan pengkisahan legenda budaya luar tentang ajaran Liak (Lingga Aksara), yang justru kian membenamkan ajaran Liak sesungguhnya adalah ajaran kerohanian pada pemikiran semakin mencekam (menakutkan) dan mulai mensosialisasikan istilah Mebalih Tatwa Liak yang dikutif berdasar dari budaya kearifan lokal Bali sendiri, misalnya dengan mengkemas kisah ini dalam bentuk Pupuh atau karya seni lainnya seperti pementasan Wayang dan Drama Tatwa Liak.
Ajaran Liak kemudian terus berkembang bahkan sampai ke seluruh negeri karena sesungguhnya merupakan salah satu ajaran kerohanian yang bertujuan untuk mencapai kebahagiaan atau pembebasan tertinggi (Moksa). Terbukti selanjutnya para Lelangit kita, semua mendalami ajaran Liak dan semua mendapat pencerahan dengan cara bertapa di kuburan (Setra) yang jika di Bali disebut Dewasraya dan dalam perkembangannya di Jawa disebut Tirakat, seperti : Sang Buda Kecapi, Mpu Kuturan, Gajah Mada, Diah Dhatu (Walu Nateng Dirah), Mpu Baradah, Dang Hyang Dwi Jendra, termasuk para Sulinggih (Pandhita) dan Pemangku (Pinandhita), begitu pula para raja di Bali semua lebih mendalami ajaran Liak untuk menjaga keamanan (Ajeg Bali). Sadarilah, ini salah satu alasannya kenapa Bali yang hanya setitik pulau bisa luput dari upaya pemindahan agama. Sementara kita sendiri, sesungguhnya tanpa disadari telah menggunakan ajaran Liak, sebab dengan menyebut aksara OM saja itu berarti kita sudah Ngeliak. Lalu kenapa terkadang kita berprilaku lucu (salah kaprah) dengan menuduh hanya Dadong dan Pekak saja yang bisa Ngeliak, padahal kita juga. Perbedaannya dengan kita disini hanya pada tingkat pendalaman serta penguasaan dan penggunaannya dalam Ngelingga Aksara (Ngeliak) tersebut.
Selanjutnya, hanya karena ulah orang yang telah menguasainyalah kemudian ajaran Liak berkembang menjadi aliran Pangiwa dan Panengen. Dan yang sangat disesalkan, mereka yang terjerumus dalam aliran Pangiwa terus menciptakan berbagai cara untuk mencelakakan orang dengan mengkemas menjadi ajaran-ajaran seperti Calon Arang yang pernah ada di Jawa, Pengiwa Mpu Beradah, Kober Kuning, Brahma Kaya, I Wangkas Candi Api, Garuda Mas, Ratna Pajajaran, Siwer Mas, Baligo Dawa, Surya Kencana dan Sanghyang Aji Rimrim. Disini, dalam gegelaran Sanghyang Aji Rimrim, dikatakan segala Liak anembah maring Sang Hyang Aji Rimrim, Aji Rimrim juga berbentuk Rerajahan. Bila di-rajah pada suatu benda dapat dipakai penjaga (pengijeng) pekarangan dan rumah serta pasikepan diri. Dimana phalanya adalah sarwa Bhuta-Bhuti muang sarwa Liak kabeh jerih dan berikut kutipan mantranya : Ih Bhuta Liak, enyen ngadakang pwakita, Sang Hyang Mercu Kunda sangkan iba ngendih, Sang Hyang Brahma menugra sira, kai Sang Hyang Siwa menugra, angimpus Liak, angawe Liak Bali grubug, tutumpur punah, pengawe Pande tikel, pengawe Dewa tulak, apan aku sarinning Sang Hyang Rimrim, asiyu bale agung wong ngeliak, Om Ram Rimrim Dhurga Dewi dan seterusnya
Dari masing-masing golongan, ajaran Liak kemudian mempunyai tingkatan sesuai kemampuan dalam mempelajarinya. Seperti tingkatan ajaran Liak paling tinggi menjadi Bade Tumpang Selikur (Menara Pengusung Jenazah bertingkat 21), di bawahnya menjadi burung Garuda. Ada yang dikatakan lebih bawah lagi menjadi binatang-binatang lain, seperti monyet, anjing, ayam putih, kambing, babi dan lain-lain. Selain itu juga dikenal nama I Pudak Setegal, I Jaka Punggul dan I Pitik Bengil (anak ayam yang dalam keadaan basah kuyup).
Pada sekian macam ilmu PangLiakan, ada pula beberapa yang sering disebut tingkat tinggi seperti Bajra Kalika yang mempunyai sisya (siswa) sebanyak seratus orang dan Aras Ijo Maya yang mempunyai prasanak atau anak buah sebanyak seribu enam ratus orang, diantaranya adalah I Garuda Putih, I Geringsing, I Bintang Sumambang, I Sudha Mala, Jaka Tua, I Pering, Sampiyan Emas, Kebo Kumale, I Misa Wedana, Weksirsa, I Campur Tala, I Anggrek, I Kebo Wangsul dan I Cambra Berag serta disebutkan pula bahwa ada sekurang-kurangnya 4 macam ilmu Bebai yakni I Jaya Satru, I Ingo, Nyoman Numit dan Ketut Belog. Masing-masing Bebai mempunyai teman sebanyak 27 orang. Jadi secara keseluruhan apabila dihitung maka sedikitnya ada sebanyak 108 macam Bebai.
Di lain pihak ada pula disebutkan bermacam-macam Pangliakan, seperti : Agni Waronca, Brahma Maya Murti, Desti Angker, Kereb Akasa, Gni Sabuana, Gringsing Wayang, I Tumpang Wredha, Maduri Geges, Pengiwa Swanda, Pangenduh, Pasinglar, Pengembak Jalan, Pemungkah Pertiwi, Penyusup Bayu, Pasupati Rencanam, Rambut Sepetik, Rudra Murti, Ratna Gni Sudamala, Ratu Sumedang, Siwa Wijaya, Surya Tiga Murti, Surya Sumedang, Weda Sulambang Gni, Keputusan Arjuna, Keputusan I Bangkung Buang, Keputusan Tungtung Tangis, Keputusan Kreta Kunda Wijaya, Keputusan Sang Hyang Dharma, Sang Hyang Sumedang, Sang Hyang Surya Siwa, Sang Hyang Gni Sara, Sang Hyang Aji Kreket dan lain-lain.
Namun, tidak diketahui tingkatan mana lebih tinggi atau yang mana lebih rendah dan hanya mereka yang memperdalam ajaran Liak itu sendiri yang mengetahuinya, akibat suatu kerahasiaan yang tinggi (paham Aja Wera), sehingga orang tidak banyak yang mengetahui.
Mungkin hanya sebagian kecil saja dari nama-nama tingkatan tersebut sering terdengar, karena semua ini adalah sangat rahasia. Dan tingkatan-tingkatan yang disampaikanpun kadangkala antara satu perguruan dengan perguruan yang lainnya berbeda. Demikian pula dengan penamaan dari masing-masing tingkatan ada suatu perbedaan.
Masih banyak lagi ajaran Liak dari aliran Pangiwa yang kemudian disurat pada daun Lontar (Siwalan) agar dapat diwariskan kepada generasinya. Namun sekali lagi, semuanya tidak jelas betul, karena sifatnya sangat rahasia, sebab memang begitulah hukumnya (Aja Wera).
Sementara itu, ajaran Liak dari aliran Panengen juga bermunculan menjadi berbagai ajaran Usadha seperti yang ditulis di atas daun Lontar (Siwalan), diantaranya : Usadha Sari, Budha Kecapi, Usadha Kuranta Bolong, Kalima Usadha, Usadha Rare (anak), Taru Premana, Dharma Usadha yang bersifat umum dan beberapa Usadha yang menjurus ke penyakit khusus, seperti Usadha Dalem (penyakit dalam), Usadha Netra (mata), Sasah Bebai (penyakit Bebainan), Usadha Buduh (Gila), Tatenger Beling (mendiagnosis kehamilan), Upas (Racun, Bisa) dan masih banyak lainnya lagi.
Di samping itu, ada pula berbentuk Tutur yang juga ditulis di atas daun Lontar, tetapi isinya tentang filsafat sehat sakit, namun aksara sakti yang disurat dalam Tutur membentuk gambar lambhing yang sulit dicerna oleh orang awam. Dimana Lontar Tutur ini penyimpanannya amat dirahasiakan dan dihormati lebih dari Lontar Usadha.
VIII. USADHA LIAK (LINGGA AKSARA)
A. Pengertian.
Di kalangan masyarakat Bali, kata Usadha sudah tidak asing pada pendengaran kita. Usadha berasal dari kata Ausadhi (bahasa Sansekerta) berarti tumbuh-tumbuhan yang mengandung khasiat obat-obatan. Sehingga secara umum kata Usadha di Bali dapat diartikan sebagai suatu ajaran atau ilmu tentang tata cara pengobatan tradisional. Biasanya hal ini terdapat pada lontar-lontar yang disurat oleh para leluhur kita guna mewariskan ajaran tersebut.
Adapun lontar tentang pengobatan di Bali dapat dibagi menjadi dua golongan yakni golongan lontar Usadha dan lontar Tutur. Pada lontar Usadha berisi tentang cara memeriksa pasien untuk memperkirakan penyakit (Diagnosa), meramu obat (Farmasi), mengobati (Terapi), memperkirakan jalannya penyakit (Prognosis), upacara yang berkaitan tentang masalah pencegahan (Preventif) dan pengobatan (Kuratif). Sedangkan lontar Tutur (Tatwa) adalah memuat tentang ajaran Anatomi, Phisiologi, Falsafah Sehat-Sakit, Padewasaan Pengobatan, Sesana Balian, Tatenger Sakit, termasuk Usadha yang menggunakan aksara suci / gaib (Wijaksara). Usadha dengan menggunakan aksara inilah yang disebut Usadha Liak (Pengobatan Lingga Aksara).
Usadha Liak dapat diartikan merupakan tata cara pengobatan melalui proses menempatkan aksara suci (Lingga Aksara). Usadha Liak juga menitikberatkan penggunaan tumbuh-tumbuhan yang berkhasiat sebagai dasar pengobatan, namun disinergikan dengan tata cara Lingga Aksara (Dasa Aksara).
Masyarakat di Bali meyakini bahwa Ida Sang Hyang Widhi (Tuhan YME) lah yang menciptakan semesta alam, Beliau-lah yang menjadikan segalanya ada, Tuhan-lah yang menciptakan aksara, Beliau juga yang menciptakan Rwa Bhineda yakni adanya dua hal yang berlawanan sifat atau jenis namun berjalan seiring pada satu koridor yang sama sebagai hukum keseimbangan alam dan keyakinan akan adanya hukum Rwa Bhinedha inilah yang juga dijadikan dasar dalam mengkemas Usadha Liak, dimana dalam konteks ini diyakini bahwa Tuhan menciptakan segala penyakit adalah tunggal dengan segala obatnya. Dicontohkan, apabila suatu zat atau unsur disalahgunakan dapat menjadi penyakit dan apabila benar dalam pengunaannya akan menjadi obatnya. Lebih tegas lagi, diuraikan bahwa dari mana sumber penyakit diyakini disanalah terdapat juga obat (vaksinnya), misalkan :
1. Jika terkena penyakit Campak lebih tepat virus Campak-lah yang digunakan untuk mengobati (vaksinnya).
2. Apabila terkena penyakit Folio akan lebih tepat virus Folio-lah yang digunakan untuk mengobati (vaksinnya).
3. Jika terkena gigitan Ular akan lebih efektif apabila racun (bisa) ular itu sendiri-lah yang digunakan untuk mengobati (serumnya).
4. Begitu juga dalam hal Pangeliakan, jika terkena Bebai yang bersumber dari Luwu Pempatan (Sampah Perempatan) maka Luwu Pempatan-lah yang digunakan untuk ruwatan penyakitnya.
5. Apabila terkena Cetik Lebuntek (Racun ikan Buntal) maka dari ikan itulah dicarikan obatnya.
6. Juga apabila terkena Cetik Sukik (Racun kayu Sukik) maka pada kayu Sukit itulah juga dicarikan obatnya.
7. Jika terkena Gerubug Tanah Setra (penyakit dari tanah Kuburan) hanya Tanah Setra-lah yang digunakan untuk menetralisir.
8. Dan seterusnya ... (Selengkapnya baca Buku Tatwa Liak).
IX. KUMPULAN MANTRA SAKTI
Berikut sedikit dikutif beberapa mantra yang mungkin akan berguna bagi para pembaca, sebagai berikut :
1. Pengurip Mantra : Ang urip ung urip mang urip, teka urip 3x, bayu urip sabda urip idep urip, teka urip 3x, jeneng.
2. Pangiwa Cambra Berag.
Sarana : Kasa ne genten surat kadi iki rajahanya ring sor.
Mantra Pangalekasan : Ong Hyang Nini Mala, tan sang angungkuli I Cambra Berag megulung kurung, tumurun ring Indraprasta, amungkah sakwehing guna kawisesan,muwah kasaktyan. Hyang Nini Saraswati pangaris wong angliak, apan aku angaji ing liak, Ah3x, wetu kawisesan, mlesat aku I Cambra Berag ring akasa, sumurup ring Kuranta Bolong, ring tengahing Sang Hyang Surya, apan aku I Cambra Berag amurtining lewih ring Sang Hyang Surya, mangendih gunankune ring tengahing Sang Hyang Surya, sing tumoning kesaktianing hulun padha sinunglap, tuminghalin awak sariranning hulun, Ah3X, turun aku ka mrecapada, anuwut aku rantai mas, tumurun ka mrecapada angepang-ngepang, I Cembra Berag magelung kurung, apan I Cambra Berag lewehing kesaktiane ring mercapada, tan hana waniya, apan aku saktining lewih pangliakane, sing teka pada anembah ring awah sariranku. Mijil I Liak Putih ring wetan, I Siwagandhu angadakang I Liak Petak ne ring aku, mijil I Liak Bang ring Kidul, I Calonarang angadakang I Liak Barak nembah ring aku, mijil Liak Kuning saking Kulon, sang paripurna angadakang I Liak Kuning, nembah ring aku, mijil I Liak Ireng saka Lor, sang nagalomba angadakang I Liak Ireng, pada nembah ring aku, Ah3X, angadeg aku I Cambra Berag megelung kurung, sing kadleng pada nembah sakwehing mabayu tan kawasa angucap-ucap awak sarirankune, apan aku sakti, tan hana wani ring aku, sing teka pada nembah, sing teka pada dungkul, An3X, Ang Ung Mang.
3. Iki Surya Kembar : Ong netranku kadi Surya Kembar, asing galang teka ulap, asing meleng teka ulap, asing mapas teka ulap, teka ulap 3x, buta teka ulap, Dewa Bhatara teka ulap, jadma manusa teka ulap, wong desti liak ulap.
4. Dan Seterusnya (Selengkapnya baca Buku Tatwa Liak).
X. PENUTUP
Demikianlah TATWA LIAK sesungguhnya, hingga akhirnya kita dapat memahami bahwa pada hakekatnya tidak ada ilmu Putih ataupun Hitam, Kanan maupun Kiri dan yang menjadikan ilmu itu berwarna adalah orangnya yang menguasai ilmu itu sendiri saat mengaplikasikannya dalam bentuk tindakan serta perseteruan (siyat) abadi yang terjadi disini, sesungguhnya adalah perang antara melawan diri dan saudara-saudara kita sendiri. Berikut, ucapan terima kasih juga tidak lupa disampaikan kepada segenap pihak yang telah membantu sampai tersusunnya buku ini serta dapat dikemasnya kedalam bentuk kreasi seni dan permohonan maaf andai terjadi kekeliruan serta saran yang bersifat membangun sangat diharapkan sebagai penyempurnaan, apan tan hana wong swasta tinulus (tidak ada manusia yang benar-benar sempurna).
Om Shanti, Shanti, Shanti Om
Rambutsiwi, 19 April 2015
Penulis
XI. DAFTAR PUSTAKA
Untuk lebih memperdalam tentang aksara-aksara dimaksud, saat ini dapat dipelajari dari :
Lontar-Lontar Pangeliakan.
Lontar Tutur Krakah Durakah.
Lontar Krakah Modre (Aji Grihguh).
Lontar Panglukuhan Dasaksara.
Lontar Tutur Krakah Saraswati.
Lontar Dhurga Bhairawi.
Lontar Ratuning Kawisesan.
Lontar Tantra Bhairawa / Bhairawi.
Lontar Usadha Bhuda Kecapi.
Lontar Kandapat.
Lontar Tatwaning Ulun Setra.
Kitab-Kita Veda.
Dan Sebagainya.
Dan Sebagainya.
Dan lainnya lagi yang juga digunakan Referensi dalam penulisan buku TATWA LIAK.
0 Komentar