Oleh :
JRO MANGKU SUARDANA
Rambutsiwi
Om Swastyastu,
Pura Dangkahyangan Rambutsiwi terletak di pesisir pantai yakni sekitar 200 meter arah Selatan dari Pesanggrahan (Pesimpangan) Pura Dangkahyangan Rambutsiwi yang berlokasi di jalan raya Denpasar - Gilimanuk, wilayah Desa Yehembang, Kecamatan Mendoyo, Kabupaten Jembrana, Provinsi Bali.
Adapun cikal bakal keberadaan dari Pura Dangkahyangan Rambutsiwi ini sangat erat kaitannya dengan legenda perjalanan (napak tilas) dari Dang Hyang Nirartha yang di Bali lebih dikenal dengan nama Ida Pedanda Sakti Wawu Rawuh artinya "seorang Pendeta Sakti yang baru tiba".
Pura Dangkahyangan Rambutsiwi terletak di pesisir pantai yakni sekitar 200 meter arah Selatan dari Pesanggrahan (Pesimpangan) Pura Dangkahyangan Rambutsiwi yang berlokasi di jalan raya Denpasar - Gilimanuk, wilayah Desa Yehembang, Kecamatan Mendoyo, Kabupaten Jembrana, Provinsi Bali.
Adapun cikal bakal keberadaan dari Pura Dangkahyangan Rambutsiwi ini sangat erat kaitannya dengan legenda perjalanan (napak tilas) dari Dang Hyang Nirartha yang di Bali lebih dikenal dengan nama Ida Pedanda Sakti Wawu Rawuh artinya "seorang Pendeta Sakti yang baru tiba".
Punulisan sejarah ini dimulai dan berdasar dari legenda yang berkembang di kalangan masyarakat sekitar bahwa pada zaman dulu di sebuah kawasan yang sekarang menjadi Pura Dangkahyangan Rambutsiwi ini berkuasalah raja raksasa sangat sakti yang memiliki seorang istri dan anak dengan pengawal dua ekor macan yakni macan Petak (berwarna Putih) dan macan Gading (berwarna Orange) sangat buas, hingga tak satupun warga sekitar yang berani secara sembarangan melintasi wilayah kekuasaannya.
Pada suatu hari, untuk meningkatkan kesaktiannya raja raksasa meminta sesajen (persembahan) nasi dan minuman arak dengan daging guling (panggang) manusia dari warga sekitar. Tak seorangpun warga berani melawan kehendak raksasa itu kerena di samping kejam juga berkat tapanya kepada Ida Bhatara Siwa hingga ia menjadi memiki kesaktian yang sangat tinggi.
Singkat cerita, sore hari itu warga terpaksa harus mempersembahkan nasi dan minuman arak dengan daging guling manusia kepada sang raksasa. Setelah semuanya siap, persembahan guling manusia itu ditutupi daun pisang dan diletakkan atau ditinggalkan di areal kawasan kekuasan raja raksasa, untuk selanjutnya raja raksasa pasti akan datang pada malam harinya guna menyantap persembahan tersebut. Setelah suasana mulai sepi, tiba-tiba datang seorang pengembara dari luar daerah yang konon diketahui adalah warga dari Klating (sekarang Desa Klating, Kecamatan Kerambitan, Kabupaten Tabanan), melintasi wilayah kekuasaan raja raksasa itu dan melihat adanya persembahan nasi dengan daging guling tersebut. Karena merasa lapar, sang pengembara dengan serta merta kemudian mencoba memakan sesajen tersebut akibat ketidaktahuannya kalau itu adalah daging guling manusia sebab persembahan itu tertutup daun pisang. Tindakan tersebut diketahui oleh raja raksasa, hingga pengembara dari Klating itu kemudian ditangkap dan ditahan di sebuah tempat penawanan yang hingga sekarang dikenal dengan nama "Bangbang Besi" artinya lubang yang terbuat dari besi (dimaksud adalah lubang tawanan) untuk nantinya juga akan diguling dan dijadikan santapan sang raksasa bersama kedua pengawalnya. Raja raksasa itu kemudian meminta beberapa warga yang dijadikan budak untuk menjaga tawanan tersebut.
Setelah beberapa waktu ditawan, si pengembara itu ternyata mampu meloloskan diri dari lubang tawanan (Bangbang Besi). Mengetahui hal itu, sang raksasa menjadi tersinggung dan marah, karena menduga tawanannya sengaja dilepas. Satu hal yang membuat raja raksasa teramat murka adalah mengetahui yang diguling itu adalah anaknya atas permintaannya sendiri kepada warga untuk menyelamatkan umat demi permintaan ayahnya yang kejam itu. Satu persatu warga yang bermukim di sekitar wilayah kekuasaan sang raksasa dimulai dari para budaknya kemudian dimakan hidup-hidup bahkan tanpa harus diguling lagi setiap saat ia lapar. Sang raksasa menjadi semakin menjadi bringas dan membuat onar dimana-mana, merusak seluruh tanaman rakyat untuk melampiasakan kemarahan karena mereka dianggap telah menghianatinya hingga seluruh rakyat semakin resah dan merasa ketaakutan serta membuat suasana menjadi kian terkesan angker.
Dalam situasi yang semakin mencekam, akhirnya pada menjelang Sandhyakala tepat hari Tilem sasih Keenam (bulan keenam Bali) tahun Caka 1411 (tahun 1489 Masehi), tibalah Ida Pedanda Sakti Wawu Rawuh yang mana saat itu beliau sedang melakukan perjalanan (napak tilas) berkeliling menjelajahi alam Bali atas seijin Dalem Waturenggong (raja Bali saat itu) setelah beberapa lama tinggal di Gelgel. Kala itu, mula-mula beliau menuju daerah Barat pulau Bali yang sekarang bernama Jembrana lalu berbelok ke Selatan dan berbalik ke Timur menyusuri pantai hingga sampailah di kawasan kekuasaan raksasa itu. Raja raksasa yang ketika itu sedang duduk di kawasan kekuasaannya langsung menghampiri ketika melihat kedatangan Ida Pedanda Sakti Wawu Rawuh dan mempermaklumkan bahwa tempat tersebut adalah merupakan kawasan kekuasaannya yang sangat angker dan keramat. Menurutnya, barang siapa lalu di tempat itu tidak tunduk dan menyembah kepadanya, tentu nanti akan diterkam harimau dan sebagainya (maksudnya adalah mendapatkan marabahaya). Ida Pedanda Sakti Wawu Rawuh tidak mengindahkan permakluman sang raksasa, hingga membuat raksasa itu marah sampai akhirnya terjadilah pertempuran sengit saling adu kesaktian yang sangat dahsyat antara raksasa itu dengan Ida Pedanda Sakti Wawu Rawuh. Raja raksasa kemudian berhasil dikalahkan dan atas pertempuran yang terjadi membuat hampir sebagian dari kawasan kekuasaan sang raksasa hancur berantakan “(bukti reruntuhan bebatuan cadas yang dulunya menjadi kawasan kekuasaan sang raja raksasa hingga sekarang masih ada di Pura Rambutsiwi)”.
Atas kekalahannya, raja raksasa lalu menangis seraya memohon kepada sang Pendeta agar mengampuni atas segala kesalahannya karena telah memaksa sang Pendeta untuk menyembah pada kekuasaannya. Bedasarkan permohonan maaf dengan kesungguhan hati dari raksasa itu, lalu sang Pendeta berbelaskasihan dan mengampuninya dengan syarat sang raksasa beserta para pengawalnya (dua ekor macan itu) harus mau dan akan senantiasa setia menjadi abdi beliau. Sang raksasa beserta pengawalnya kemudian disupat (dimulyakan) dan digaibkan agar tidak tampak lagi oleh manusia biasa serta diamanatkan agar tetap senantiasa menjaga kawasan itu. Sang raksasa diberi gelar Ratu Nyoman Sakti Pengadang-Adang dengan batasan wilayah meliputi, Timur hingga Pangkung (anak sungai) Bangbang Besi, Selatan (laut) hingga Iyak Buntut (gelombang pendek), Barat hingga Pangkung Dapdap dan Utara hingga Poh Kembar (pohon mangga kembar). Ratu Nyoman Sakti Pengadang-Adang bisa berubah wujud menjadi Barong Selem (Barong berwarna Hitam) dimana dalam rupa ini bergelar Banaspati Raja (Singa Barong), sedangkan istrinya juga diberi gelar Ratu Ayu Meketel karena atas anugerah Ida Bhatara Siwa dan Ida Bhatari Dhurga ia bisa menghancurkan sesuatu dan mengajarkan sesat, sementara roh anaknya juga dimulyakan menjadi Rare Angon (anak penuntun dan penolak bala) karena pengorbanannya telah menyelamatkan umat, dimana pengorbanannya ibarat seekor rusa yang pada akhirnya harus rela dimakan macan demi menyelamatkan sebuah siklus atau peradaban.
Informasi tentang keberadaan Ida Pedanda Sakti Wawu Rawuh yang memiliki kemampuan sepiritual sangat tinggi dan berhasil mengalahkan raja raksasa kejam itu, dengan cepat menyebar kepada seluruh warga, sehingga seluruh warga datang menghadap sang Pendeta untuk memohon bimbingan sepiritual, ada pula yang memohon kesembuhan, anugerah kesejahteraan, dan sebagainya bahkan termasuk pengembara dari Klating itu juga datang untuk menghaturkan ritual sebagai rasa bersyukur karena dirinya juga telah berhasil lolos dari mara bahaya, hingga membuat sang Pendeta berkenan menunda keberangkatan dalam melanjutkan perjalanan (napak tilas) beliau.
Di sana sang Pendeta memberikan bimbingan sepiritual kepada seluruh warga yang datang dan memohon untuk memperdalam tuntunan agama terutama ajaran bhakti kepada Ida Sang Hyang Parama Kawi (pencipta alam semesta), kepada Dewa-Dewi atau Bhatara-Bhatari sebagai manifestasi dari Ida Sang Hyang Parama Kawi, juga bhakti kepada Leluhur, termasuk memberikan tuntunan ajaran kerohanian Hakekat Lingga Aksara, pertanian, perkebunan, peternakan, pertukangan dan sebagainya agar memperoleh kedamaian, keselamatan serta kesejahteraan hidup secara lahir maupun bhatin, juga tuntunan mengharmonisasi unsur-unsur gaib (tak kasap mata) agar kekuatannya tidak menjadi jahat tetapi justru dapat melindungi hidup manusia.
Setelah seluruh warga tercerahkan, saat pagi hari ketika sang surya (matahari) mulai memancarkan cahayanya ke seluruh persadha, seusai melaksanakan sembahyang (Surya Sewana), sang Pendeta kemudian memercikkan Tirtha yang dibuat dari sumber air yang mengalir dari salah satu goa yang ada di kawasan tersebut dan tanpa pernah mengering walau dikala musim kemarau sekalipun (sekarang Pura Tirtha), berikut sang Pendeta berpamit kepada segenap warga. Ida Pedanda Sakti Wawu Rawuh selanjutnya melepas gelung rambut beliau sehingga rambut beliau menjadi terurai untuk kemudian seraya mencabut tiga helai rambut (1 helai yang berwarna Kemerahan, 1 helai berwarna Hitam dan sehelai yang berwarna Putih) dari kepala beliau, selanjutnya diberikan kepada warga melalui salah seorang warga yang telah ditunjuk menjadi pemimpin mereka, seraya berkata : "Terimalah tiga helai rambut dari kepala saya lalu jadikan satu dan simpanlah (siwi) untuk mengenangkan kejadian ini, selanjutnya senantiasalah bersembahyang kepada Ida Sang Hyang Parama Kawi agar selalu memperoleh kedamaian, keselamatan serta kesejahteraan". Hingga sejak itulah, pura ini dinamakan Pura Rambutsiwi, berikut Ida Pedanda Sakti Wawu Rawuh berkenan melanjutkan perjalanan (napak tilas) beliau.
Memperhatikan susunan letak adanya tiga Pura di kawasan Pura Rambutsiwi diantaranya ada Pura Penataran, Pura Tirtha / Segara dan Pura Puncak (Duhur = Luhur), hal ini mengisyaratkan bahwa Pura Rambutsiwi keberadaannya mirip dengan konsep awal Kahyangan Tiga seperti yang sebelum telah diajarkan pada zaman Mpu Kuturan, yakni di setiap desa pakraman di Bali terdapat tiga jenis Pura serupa yakni Pura Desa, Pura Puseh dan Pura Dalem. Ketiga Pura ini melambangkan tatanan Bhur Loka, Bhuwah Loka dan Swah Loka. Hal ini melukiskan bahwa Tuhan itu ada di mana-mana yakni di alam bawah, tengah maupun di alam atas dan dalam berbagai manifestasi diantaranya Dewa Brahma sebagai Pencipta (Utpeti), Dewa Wisnu sebagai Pemelihara (Sthiti) dan Dewa Siwa Pelebur (Pralina) disebut Tri Murti. Dari sini, dapat ditarik kesimpulan bahwa Pura Rambutsiwi juga adalah sebagai media untuk memohon kedamaian di Tri Loka (dinyatakan dalam mantram Atharvaveda). Kalau langit, udara dan tanah serta air di bumi dalam keadaan damai maka kehidupan agraris yang berpangkal pada eksistensi pertanian pasti berlangsung dengan baik. Hingga masyarakat di daerah Jembrana jika bersembahyang di Pura Dangkahyangan Rambutsiwi akan memohon kepada Tuhan pada intinya melalui Pura Penataran, Pura Titrha / Segara dan Pura Duhur agar bumi, air, udara dan langit tidak terganggu fungsinya menjadi sumber kehidupan ekonomi agraris di Jembrana. Kemakmuran ekonomi itu sangat tergantung pada tercukupinya kebutuhan masyarakat akan makan, minum, sandang dan perumahan. Demikian sebaliknya, kalau tanah dan air rusak, udara kotor penuh polusi maka pertanian itu akan sulit dikembangkan dengan baik.
Nama Pura Rambutsiwi, berikut setelah di-purana-kan menjadi Pura Dangkahyangan Rambutsiwi karena sejarah berdirinya erat berkaitan dengan kisah perjalanan (napak tilas) Dang Hyang Nirartha artinya sebuah pura yang merupakan tempat disimpannya tiga helai rambut dari Dang Hyang Nirartha (Ida Pedanda Sakti Wawu Rawuh) dimaksud dan setiap 6 (enam) bulan sekali kemudian dilaksanakan persembahyangan bersama oleh seluruh umat beragama Hindu atau yang dikenal dengan istilah Pujawali (Piodalan) tepatnya setiap hari Rabu panca wara Umanis wuku Perang Bakat. Pujawali yang jatuh pada hari biasa akan dilakukan Pujawali tingkatan Madia (menengah), tapi jika bertepatan pada saat bulan Purnama atau Tilem maka akan dilaksanakan Pujawali tingkatan Utama (Pujawali Nadi), untuk selanjutnya ditetapkan menjadi sembilan pura, diantaranya :
a. Pesanggrahan (Pesimpangan) Pura Rambutsiwi yang dipuja Ratu Nyoman Sakti Pengadang-Adang.
b. Pura Taman Beji yang dipuja Dewi Danuh.
c. Pura Penataran, terdapat beberapa Palinggih antara lain :
1) Pelinggih Dewa Ayu Giri Putri (Penguasa Hutan).
2) Pelinggih Catu Meres Catu Mujung (Pengiring Dewi Sri).
3) Pelinggih Dewa Ayu Ulun Danuh.
4) Pelinggih Manjangan Seluwang (Rare Angon).
5) Padma (Ida Shang Hyang Widhi Wasa).
6) Pelinggih Pengayatan Dhanghyang Dwijendra.
7) Pelinggih Gedong Simpen (Bhatara Dewa Ayu Mas Meketel).
8) Pelinggih Ratu Nyoman Sakti Pengadang-Adang (Tabeng Dada/Penjaga).
9) Pelinggih Pepelik (Pengareman).
10) Gedong Busana, Piasan dan Bale Pesandekan.
d. Goa Dasar yang dipuja Dewa Giri Putri.
e. Pura Tirtha dan Segara yang dipuja Dewa Siwa Gangga dan Dewa Bharuna. Pura ini terbagi atas 3 (tiga) halaman (Tri Mandala), yakni :
1) Halaman Utama disebut Utama Mandala, adalah berada dalam goa yang kira-kira lokasinya tepat di bawah Pura Luhur Dangkahyangan Rambutsiwi terdapat alur seperti sebuah perempatan (Catus Pata) yang masing-masing alurnya laksana tanpa ujung karena hingga saat ini tidak ada seorangpun yang mengetahui ujung atau akhir dari masing-masing alur goa ini. Sehingga, secara alam Niskala (gaibnya) umat meyakini bahwa alur goa yang mengarah ke Timur Laut berujung ke Pura Besakih di Gunung Agung, itu sebabnya keberadaan Pura Luhur juga diyakini sebagai pengayatan ke Pura Besakih, sedangkan alur goa yang mengarah ke Barat Laut diyakini berujung ke Pura Melanting di Pulaki sehingga di Pura Dangkahyangan Rambutsiwi ada pengayatan Pura Melanting dan alur goa yang mengarah ke Tenggara diyakini berujung ke Pura Dalem Ped di Nusa Penida sehingga di Pura Dangkahyangan Rambutsiwi ada pengayatan Pura Dalem Ped, sementara alur goa yang mengarah ke Barat Daya sebagai ke pintu keluar goa yang mengarah ke Laut (Segara) diyakini umat sebagai pengayatan ke setiap pura yang ada di luar pulau Bali seperti Pura Blambangan, Pura Alas Purwa, Pura Semeru Agung dan seterusnya.
2) Halaman Tengah disebut Madya Mandala, dimana pada halaman ini terdapat beberapa Palinggih dan Archa, diantaranya :
a) Sebuah palinggih Piasan adalah difungsikan sebagai stana Pralingga dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan YME) dalam manifestasi sebagai Dewa Siwa Gangga.
b) Dua buah palinggih diantaranya 1 buah Padmasana sebagai stana pemujaan Ida Bhatara dalam manifestasi tertinggi dan 1 buah Padmasari sebagai stana Ista Dewata.
c) Keberadaan dua buah Archa diantaranya, Archa Ida Pedanda Wawu Rawuh dan Archa Ida Pedanda Istri Sri Patni Kaniten ialah Sakti dari Ida Pedanda Sakti Wawu Rawuh, guna mengenangkan jasa-jasa suci beliau sebagai cikal bakal tercerahkannya kembali Pura Dangkahyangan Rambutsiwi serta sebagai simbul bahwa cikal bakal kehidupan bersumber dari Rwa Bhineda (Perdhana-Purusha/Kiwa-Tengen) adalah merupakan kekuatan keseimbangan berlakunya hukum alam.
d) Archa naga cobra berkepala tiga sebagai simbol bahwa kesatuan semesta ini sesungguhnya terbagi atas tiga tingkatan alam disebut Tri Loka, yakni alam Bhur Loka adalah alam para Bhuta Kala, alam Bwah Loka adalah alam Manusia, Hewan serta Tumbuhan (Bumi) dan alam Swah merupakan alam para Dewa sebagai manifestasi dari Ida Sang Hyang Wdhi Wasa.
e) Archa Dewa Siwa sebagai simbol Siwaisme.
f) Sebuah taman Maha Tirtha Pasupati.
g) Dua buah Archa Macan yakni macan Petak (Putih) dan macan Gading (Orange) merupakan simbul Ancangan (Pengawal Ratu Nyoman Sakti Pengadang-Adang).
h) Balai Pengastawa adalah berfungsi sebagai tempat Pemangku dalam memimpin persembahyangan umat.
3) Halaman Luar disebut Pratama Mandala, terdapat sebuah Palinggih berupa Padma sebagai pengayatan ke Daleming Segara (Laut) atau Dewa Bharuna dan Bale Pesandekan.
f. Pura Pesimpangan Bhatari Melanting yang dipuja Dewi Mas Melanting.
g. Pura Pesimpangan Gading Wani dipuja Dewa Mas Gading Wani.
h. Pesimpangan Pura Dalem Ped dipuja Dewa Ratu Gede Dalem Ped.
i. Pura Duhur (Luhur). Di Pura Ini terdapat pelinggih-pelinggih antara lain :
1) Pelinggih Lumbung dipuja Bhatari Sri.
2) Pelinggih Taksu dipuja Bhatari Sarasawati
3) Pelinggih Rambut Sedhana dipuja Bhatara Rambut Sedhana.
4) Pelinggih Ulun Danu dipuja Dewa Ayu Ulun Danu.
5) Pelinggih Padma dipuja Ida Shang Hyang Widhi Wasa
6 Pelinggih Pengayatan Gunung Agung.
7) Pelinggih Meru Tumpang Tiga dipuja Dhang Hyang Dwi Jendra.
8) Pelinggih Gedong Simpen dipuja Betari Ayu Mas Meketel.
9) Pelinggih Ratu Nyoman Sakti Pengadang-Adang.
10) Bale Peselang, Gedong Busana dan Pelinggih Pepelik.
Kebenaran dari legenda keberadaan sang raksasa dengan dua pengawalnya yakni macan Petak dan macan Gading yang dulunya kejam dan membuat wilayahnya menjadi sangat angker yang kemudian berhasil ditaklukkan Dhang Hyang Nirartha, selanjutnya telah disupat (dimulyakan) dan digaibkan agar tidak tampak lagi oleh manusia biasa serta diberi gelar Ratu Nyoman Sakti Pengadang-Adang hingga kini diyakini masih menjaga kawasan Pura Rambutsiwi. Hal ini dibuktikan sampai sekarang banyak warga yang melintasi Pura Rambutsiwi baik pejalan kaki ataupun berkendaraan akan berhenti sejenak di Pesanggrahan (Pengayatah) Pura Dhangkahyangan Rambutsiwi yang terletak di sebelah Selatan jalan raya Denpasar – Gilimanuk, Desa Yehembang Kangin, Kecamatan Mendoyo, Kabupaten Jembrana. Di sana pengguna jalan biasanya bersembahyangan untuk memohon keselamatan dengan sarana canang sari yang dibawa sendiri atau membeli di sekitar Pura Pesanggrahan. Usai sembahyang, mereka mendapat percikan tirtha (air suci) dari Pemangku disertai doa semoga selamat dalam perjalanan. Bagi yang tidak membawa canang, mereka tinggal turun dari kendaraan dan Pemangku juga dengan sigap akan melayani Pamedek. Setelah matirtha dan mendapat bija serta bunga, mereka menghaturan sesari, tidak ada ketentuan berapa sesari yang harus dihaturkan dan semua itu tergantung keikhlasan dari umat. Tak hanya umat saja yang didoakan supaya selamat dalam perjalanan karena kendaraanpun ikut diperciki tirtha dan dipasangi bunga serta bija. Pada hari-hari biasa, ratusan lebih kendaraan mulai dari kendaraan pribadi hingga kendaraan umum berhenti untuk berdoa dan mohon keselamatan. Pada hari libur atau hari-hari piodalan, jumlah kendaraan akan meningkat termasuk rombongan yang melakukan Tirtha Yatra ke tanah Jawa juga biasanya berhenti untuk bersembahyang di Pesanggrahan Pura Dangkahyangan Rambutsiwi ini, demikian pula dengan rombongan yang plesir atau study tour ke Jawa.
Pakem lain yang menyatakan kebenaran legenda di atas, dimana banyak anak muda hingga sekarang masih meyakini tidak berani mengajak pacarnya kencan di kawasan pura karena pasti akan diganggu para ancangan dari Ratu Nyoman Sakti Pengadang-Adang bahkan bisa sampai memutus jalinan tali kasih mereka.
Tradisi berikut yang juga diyakini sebagai pakem akan kebenaran legenda tersebut, bahwa setiap hari Tilem (bulan mati) sasih Keenam (bulan keenam Bali) umat akan melakukan ritual Nangluk Merana diyakini untuk menetralisir kekuatan jahat dari para unsur gaib yang berstana di kawasan Pura Rambutsiwi agar tidak mengganggu kelangsungan hidup umat manusia.
Karena secara geografis Pura Dangkahyangan Rambutsiwi berada di wilayah Desa Yeh Embang, Kecamatan Mendoyo maka Pekandel Pura juga berasal dari tiga desa sekitar pura yakni Desa Yeh Embang Kangin, Desa Yeh Embang dan Desa Yeh Embang Kauh. Dari tiga desa ini terdapat 8 Bendesa, sementara Pangempon pura berasal dari Kecamatan Mendoyo dan Kecamatan Pekutatan, Kabupaten Jembrana. (JMS)
Om Santih, Santih, Santih Om
0 Komentar